Pembuatan tahu dengan bahan dasar koro tungga yang lebih ekonomis dari pada kedelai.
Sifat Botani Morfologi kedelai dan Koro Tunggak
Sifat Botani Dan Morfologi kedelai
Kedelai adalah salah
satu tanaman bijian yang sangant sering digunakan dalam bahan dasar pembuatan
berbagai makanan dan minuman, seperti tahu, kecap minyak dan masih banyak
lainnya. Kedelai merupakan tanaman pangan berupa semak yang tumbuh tegak. Kedelai
jenis liar Glycine Ururiencis, merupakan kedelai yang
menurunkan berbagai kedelai yang kita kenal sekarang (Glycine max (L)
Merril). Kedelai merupakan tanaman asli Daratan Cina dan telah
dibudidayakan sejak tahun 2500 SM. Sejalan dengan makin berkembangnya
perdagangan antar negara yang terjadi pada awal abad ke-19, membuat tanaman
kedelai juga ikut tersebar keberbagai negara tujuan perdangan tersebut, yaitu
Jepang, Korea, Indonesia, India, Australia, dan Amerika. Kedelai mulai dikenal
di Indonesia sejak abad ke-17. Awal mula penyebaran dan pembudidayaan kedelai
yaitu di Pulau Jawa, kemudian berkembang ke Bali, Nusa Tenggara, dan pulau –
pulau lainnya.
Pada awalnya, kedelai
dikenal dengan beberapa nama botani, yaitu Glycine soja dan Soja
max. Namun pada tahun 1948 telah disepakati bahwa nama botani yang
dapat diterima dalam istilah ilmiah, yaitu Glycine max (L) Merill. Kedelai
dapat dimanfaatkan sebagai bahan makanan, kedelai dapat dibuat tempe, tahu,
kecap, tauco, dan taoge. Selain itu kedelai dapat diolah menjadi minuman sari
kedelai, susu dan kecap. Disamping itu kedelai memiliki kandungan protein yang
lebih tinggi (30-40%) dibanding kacang tanah yang mencapai 20-30%, kadar lemak
(18%) lebih sedikit jika dibanding dengan kacang tanah (40-70%) dan karbohidrat
35%.
Beikut merupakan
klasifikasi tanaman kedelai :
Kingdom : Plantae
Divisio : Spermatophyta
Subdivisio :
Angiospermae
Classis : Dicotyledoneae
Ordo : Rosales
Familia : Papilionaceae
Genus : Glycine
Species : Glycine max
(L) Merill
Sifat Botani dan
Morfologi Koro Tunggak
Kingdom : Plantae
Subkingdom : Tracheobionta
Superdivision : Spermathopytha
Division : Magnoliopytha
Class : Magnoliopsida
Subclass : Rosidae
Order : Fabales
Family : Fabaceae atau Leguminoceae
Genus : Canavalia adons
Species : Canavalia ensiformis (L.) DC
Menurut Suryaningrum (2014), koro pedang dikenal
dua jenis, jenis koro putih (jack bean) yang lebih dikenal dengan koro
tunggak atau koro bedog yang tumbuh tegak dan berbiji putih dan jenis koro
merah (red bean) yang tumbuh merambat (climbing) dan berbiji
merah, lebih dikenal dengan koro pedang, merupakan salah satu kelompok kacang polong
(legume) yang berpotensi tinggi untuk dimanfaatkan sebagai bahan baku untuk
menghasilkan produk olahan pangan
Bentuk tanaman koro pedang menyerupai perdu
batangnya bercabang pendek dan lebat dengan jarak percabangan pendek dan
perakaran termasuk akar tanggung. Tanaman koro pedang dapat tumbuh sampai pada
ketinggian 2000 m dpl, tumbuh baik pada suhu rata-rata 14-27⁰C di lahan tadah hujan atau 12-32ºC di daerah
tropik dataran rendah. Tanaman koro pedang, terutama tipe tegak dapat tumbuh
baik pada curah hujan tertinggi 4200 mm/tahun dan curah hujan terendah sampai
700 mm/tahun. Tanaman koro pedang memiliki daun dengan panjang tangkai daun
7-10 cm, lebar daun sekitar 10 cm, tinggi tanaman dapat mencapai 1 meter. Bunga
berwarna kuning, tumbuh pada ketiak atau buku cabang. Bunga termasuk bunga
majemuk dan berbunga mulai umur 2 bulan hingga umur 3 bulan. Polong dalam satu
tangkai berkisar 1-3 polong, tetapi umumnya 1 polong atau tangkai. Panjang
polong 30 cm dan lebar 3,5 cm, polong muda berwarna hijau dan polong tua
berwarna kuning jerami. Biji berwarna putih dan tanaman koro dapat dipanen pada
9-12 bulan, namun terdapat varietas genjah berumur 4-6 bulan. Biji memiliki
massa sekitar 1,5 gram dan memiliki diameter berkisar 13-14 mm dengan berat
jenis per biji kacang adalah 1,19 g/cm3.
Biji berbentuk lonjong menjorong dan lembaga
berwarna hitam. Keuntungan tanaman ini adalah memiliki adaptasi yang luas pada
lahan suboptimal, terutama pada lahan kering masam, mudah dibudidayakan secara
tunggal atau tumpang sari, cepat menghasilkan biomasa untuk pupuk hijau atau
pakan, dan mengandung protein yang tinggi. Hasil tanaman berkisar 1-4,5 ton
biji koro pedang kering/ha, tergantung populasi dan teknik produksi dan
lingkungan produksi lainnya (Anonim, 2012).
Menurut Sudiyono (2010) dalam Ekafitri (2013),
dari kandungan gizi, koro pedang memiliki semua unsur gizi dengan nilai gizi
yang cukup tinggi, yaitu karbohidrat 60,1%, protein 30,36%, dan serat 8,3%.
Melihat kandungan gizinya yang lengkap, sangat disayangkan bahwa koro pedang
belum banyak dimanfaatkan oleh masyarakat. Retnaningsih (2010), menyatakan
bahwa biji koro mempunyai kandungan gizi yang cukup tinggi.
Koro pedang (Canavalia ensivormis L) merupakan
tanaman dari suku polong-polongan yang mengandung protein & karbohidrat
tinggi, tetapi kandungan lemak yang rendah, hal ini menandakan bahwa koro
pedang berpeluang sebagai pengganti kedelai pada olahan tahu yang rendah lemak
dan aman untuk penderita diabetes dan protein koro hampir sama dengan protein
kedelai . kandungan gizi dari koro pedang dapat dilihat pada tabel 2:
Tabel 2: Prosentase perbandingan kandungan gizi
koro tunggak dan kedelai dalam 100 g biji kering
No
|
Kandungan Bahan
|
Proporsi nutrisi dalam biji koro tunggak (%)
|
Proporsi nutrisi dalam kedelai (%)
|
1
|
Karbohidrat
|
36.0
|
30.1
|
2
|
Lemak
|
15.0
|
15.1
|
3
|
Protein
|
27.0
|
37.0
|
4
|
Antioksidan
|
5.0
|
-
|
5
|
Air
|
20.0
|
20.0
|
6
|
Asam Sianida (ppm)
|
7.0
|
-
|
7
|
Kalsium
|
35.8
|
19.6
|
Sumber: Anonim a (2015)
Pada tabel 2 dapat dilihat bahwa kandungan gizi
per 100 gram biji koro tunggak hampir sama dengan kedelai, tetapi pada koro
tunggak kandungan gizi tertinggi adalah karbohidrat. Karbohidrat disini adalah
karbohidrat yang bersifat memberikan rasa kenyang dan lama untuk dicerna tubuh
karena merupakan karbohidrat dengan kadar glukosa rendah berbeda dengan nasi
karena kandungan gula pada karbohidrat koro tunggak adalah kandungan gula mono
sakarida yang dapat dicerna tubuh dan mudah terurai menjadi energi.
Untuk membuat tahu, kedelai dan koro tunggak
diproses terlebih dahulu menjadi susu. Dari hasil penelitian Kartika (2015),
ditemukan kandungan gizi susu koro tunggak terhadap susu kedelai dan susu sapi
mempunyai nilai gizi yang sama, tetapi pada koro tunggak mempunyai keunggulan
proteinnya lebih tinggi dari kedua susu tersebut, yang dapat dilihat pada Tabel
3:
Tabel 3: Prosentase Perbandingan Kandungan Gizi
Pada Susu Sapi, Koro Tunggak, dan Kedelai per 100 mL
No
|
Kandungan Bahan
|
Susu Sapi (%)
|
Susu Koro Tunggak (%)
|
Susu Kedelai (%)
|
1
|
Karbohidrat
|
4.5
|
3.38
|
3.8
|
2
|
Lemak
|
0.3
|
0.45
|
0.3
|
3
|
Protein
|
2.9
|
5.47
|
4.4
|
4
|
Antioksidan
|
-
|
4.56
|
-
|
5
|
Air
|
88.6
|
10.5
|
88.6
|
6
|
Asam Sianida
|
-
|
3.89
|
-
|
Sumber: Kartika, 2015
Pada tabel 3, dapat diketahui bahwa kandungan
protein susu koro pedang lebih tinggi dari kedelai dan sapi, selain itu
kandungan lemak pada susu koro tunggak lebih rendah dari susu sapi. Hal ini
memungkinkan koro tunggak juga dapat digunakan sebagai subsitusi susu lemak
untuk penderita kegemukan atau orang yang ingin diet.
Dari hasil tabel 1 dan 2 dapat disimpulkan bahwa
pada koro tunggak, walaupun kandungan lemak dan karbohidrat tinggi, akan tetapi
kandungan proteinnya lebih baik dari kedelai. Sehingga peluang penggunaan koro
tunggak sebagai subsitusi kedelai pada proses pembuatan tahu menguntungkan,
selain dari segi gizi juga dari segi harga, dimana harga koro tunggak lebih
rendah dari harga kedelai. Sebagai perbandingan harga kedelai saat ini untuk
kualitas A Rp 10.000 / kg, kualitas B Rp 7.000 / kg, sedangkan kualitas C Rp
5.000 / kg, sedangkan untuk harga koro tunggak Rp 6.000 / kg untuk kualitas A,
Rp 4000 / kg untuk kualitas B, dan Rp 2.500 / kg untuk kualitas C (Anonim,
2016). Untuk membuat tahu diperlukan kedelai kualitas A, sehingga jika tidak
disubsitusi akan mengeluarkan Rp 10.000 / kg, jika disubsitusi maka hanya
mengeluarkan Rp 8.000 / kg dengan asumsi penggunaan kedelai sebesar 50% dan 50%
disubsitusi dengan koro tunggak. Sehingga dengan subsitusi, dapat menghemat
pengeluaran sebesar Rp 2.000 / kg.
Dananjoyo, A. (2005), melakukan penelitian di
Kota Bogor, Provinsi Jawa Barat, dengan judul “Analisis Kelayakan Finansial
Usaha Tempe”. Hasil penelitian menunjukkan bahwa usaha pengrajin tempe biasa
dan tempe Malang di Kota Bogor layak untuk dilaksanakan, hal
ini dapat dilihat dengan hasil analisis kriteria
kelayakan berikut: NPV pengrajin tempe biasa positif yaitu sebesar Rp
8.805.006,00 dan NPV pengrajin tempe Malang Rp 7.157.760,00; IRR pengrajin
tempe biasa dan tempe Malang lebih tinggi dari tingkat diskonto 13 persen yaitu
35 persen pada tempe biasa dan untuk tempe Malang 32 persen; Net B/C Ratio pada
tempe biasa dan tempe Malang yaitu 1,59 untuk tempe biasa dan 1,47 untuk tempe
Malang
Menurut penelitian Suherliyanti, Lely. (2003)
yang berjudul “Analisis Kelayakan Finansial Perusahaan Tahu Di Kabupaten
Sumedang” menunjukkan bahwa usaha tahu Sumedang baik pada skala usaha menengah
maupun skala usaha kecil layak untuk diusahakan. Hal ini terlihat dari nilai
NPV, IRR, dan Net B/C yang diperoleh telah memenuhi syarat kelayakan investasi
dengan memperhitungkan pajak penghasilan. Namun jika dibandingkan antara skala
usaha menengah dan kecil, maka manfaat proyek lebih dirasakan oleh pengusaha
pada skala menengah. Hal ini terlihat dari nilai kriteria yang diperoleh lebih
baik pada skala usaha menengah dari pada skala kecil. Hasil analisis tingkat
pengembalian investasi, investasi pada usaha tahu Sumedang ini relatif cepat.
Pengembalian investasi untuk skala usaha menengah adalah selama 9 bulan lebih
singkat dibandingkan pada skala usaha kecil yaitu selama 1 tahun 4 bulan.
Tingkat pengembalian investasi akan berbeda-beda jika terjadi perubahan input
dan output usaha tahu Sumedang ini. Namun demikian usaha tahu Sumedang ini
menghasilkan tingkat pengembalian investasi yang cepat.
Menurut Suratiyah, 2015, total pembiayaan pada
usaha digunakan rumus sebagai berikut :
TC = FC + VC
Keterangan :
TC=Biaya Total / Total Cost (Rp)
FC=Biaya Tetap / Fixed Cost (Rp)
VC=Biaya Variabel / Variable Cost (Rp)
Untuk input-input yang berbentuk barang modal yang tidak habis
dalam satu kali proses produksi, maka perlu dihitung besarnya penyusutan.
Besarnya penyusutan untuk setiap proses produksi ini hanya taksiran, karena
tidak mungkin menetapkan secara tepat. Maka untuk menghitung biaya penyusutan
digunakan metode garis lurus (straight line method) dalam penentuan
besarnya penyusutan, dinyatakan dengan rumus :
Na – Ns
D = Up
Keterangan :
D = Besarnya nilai penyusutan barang modal tetap
(Rp/bln)
Na = Nilai awal barang modal tetap (Rp)
Ns = Nilai sisa dari barang modal tetap (Rp)
Up = Nilai ekonomis dari barang modal tetap
(thn)
Untuk mengetahui besarnya penerimaan, digunakan
rumus sebagai berikut :
TR = Y . Py
Keterangan :
TR =Penerimaan Total / Total Revenue (Rp)
Y =Jumlah tahu (papan tahu)
Py =Harga rata-rata tahu (Rp)
Untuk mengetahui besarnya keuntungan usaha
pembuatan tahu dapat dihitung dengan menggunakan rumus sebagai berikut :
π= TR – TC
Keterangan :
π=Keuntungan / laba (Rp)
TR=Penerimaan Total / Total Revenue
Net Present Value (NPV) menurut Umar (2003),
diperlukan untuk menghitung nilai sekarang dengan menentukan tingkat bunga yang
relevan. Penilaian kelayakan finansial berdasarkan NPV yaitu:
- Jika
NPV > 0, maka usulan proyek diterima
- Jika
NPV = 0, nilai perusahaan tetap walau usulan proyek diterima ataupun
ditolak.
- Jika
NPV < 0, maka usulan proyek ditolak.
Internal Rate Of Return (IRR) menggunakan nilai
NPV1 dan nilai NPV 2 dengan cara coba-coba. Apabila nilai NPV1 telah
menunjukkan angka n positif maka discount faktoryang kedua harus lebih besar
dari SOCC dan sebaliknya apabila NPV 1 menunjukkan angka negatif maka discount
faktor yang kedua berada di bawah SOCC atau discount faktor Ibrahim (2003)
Penilaian kelayakan finansial berdasarkan IRR
yaitu:
- IRR
> tingkat bunga, maka usulan proyek diterima
- IRR
< tingkat suku bunga, maka usulan proyek ditolak
Menurut Kasmir dan Jakfar (2004), metode Payback
Period (PP) merupakan teknik penilain terhadap jangka waktu (periode)
pengembalian investasi suatu proyek atau usaha. Perhitungan ini dapat dilihat
dari perhitunghan kas bersih (proceed) yang diperoleh setiap tahun. Nilai kas
bersih merupakan penjumlahan laba setelah pajak ditambah dengan penyusutan
(dengan catatan jika investasi 100% menggunakan modal sendiri).
Untuk menghitung Net B/C yaitu membagi jumlah
nilai sekarang aliran kas manfaat bersih positif dengan jumlah nilai sekaranng
aliran kas manfaat bersih negatif pada tahun-tahun awal proyek (Gittingar,
1986). Ketentuan penilaian menurut Net B/B adalah:
- Net
B/C Ratio > 1, maka proyek layak atau dapat dilaksanakan.
- Net
B/C Ratio = 1, maka proyek impas antara biaya dan manfaat sehingga
terserah kepada pengambil keputusan untuk dilaksanakan atau tidak.
- Net
B/C Ratio< 1, maka tidak layak atau tidak dapat dilaksanakan.
Break Even Point (BEP) merupakan titik impas usaha. Dari
nilai BEP dapat diketahui pada tingkat produksi dan harga berapa suatu usaha
tidak memberikan keuntungan dan tidak pula mengalami kerugian Rahardi dan
Hartono (2003)
Untuk mengetahui keuntungan perusahaan melalui
metode ROI, maka dapat dilakukan dengan cara membagi laba bersih setelah pajak
dengan total assets, kemudian untuk mendapatkan nilai persentasenya dikalikan
100% (Kasmir dan Jakfar, 2004).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar