Selasa, 10 Januari 2017

Pembuatan tahu dengan bahan dasar koro tungga yang lebih ekonomis dari pada kedelai.

Pembuatan tahu dengan bahan dasar koro tungga yang lebih ekonomis dari pada kedelai.



Sifat Botani  Morfologi  kedelai dan Koro Tunggak
Sifat Botani Dan Morfologi kedelai
Kedelai adalah salah satu tanaman bijian yang sangant sering digunakan dalam bahan dasar pembuatan berbagai makanan dan minuman, seperti tahu,  kecap minyak dan masih banyak lainnya. Kedelai merupakan tanaman pangan berupa semak yang tumbuh tegak. Kedelai jenis liar Glycine Ururiencis, merupakan kedelai yang menurunkan berbagai kedelai yang kita kenal sekarang (Glycine max (L) Merril). Kedelai merupakan tanaman asli Daratan Cina dan telah dibudidayakan sejak tahun 2500 SM. Sejalan dengan makin berkembangnya perdagangan antar negara yang terjadi pada awal abad ke-19, membuat tanaman kedelai juga ikut tersebar keberbagai negara tujuan perdangan tersebut, yaitu Jepang, Korea, Indonesia, India, Australia, dan Amerika. Kedelai mulai dikenal di Indonesia sejak abad ke-17. Awal mula penyebaran dan pembudidayaan kedelai yaitu di Pulau Jawa, kemudian berkembang ke Bali, Nusa Tenggara, dan pulau – pulau lainnya.
Pada awalnya, kedelai dikenal dengan beberapa nama botani, yaitu Glycine soja dan Soja max. Namun pada tahun 1948 telah disepakati bahwa nama botani yang dapat diterima dalam istilah ilmiah, yaitu Glycine max (L) Merill. Kedelai dapat dimanfaatkan sebagai bahan makanan, kedelai dapat dibuat tempe, tahu, kecap, tauco, dan taoge. Selain itu kedelai dapat diolah menjadi minuman sari kedelai, susu dan kecap. Disamping itu kedelai memiliki kandungan protein yang lebih tinggi (30-40%) dibanding kacang tanah yang mencapai 20-30%, kadar lemak (18%) lebih sedikit jika dibanding dengan kacang tanah (40-70%) dan karbohidrat 35%.
 Beikut merupakan klasifikasi tanaman kedelai :
Kingdom : Plantae
Divisio : Spermatophyta
Subdivisio : Angiospermae
Classis : Dicotyledoneae
Ordo : Rosales
Familia : Papilionaceae
Genus : Glycine
Species : Glycine max (L) Merill


 Sifat Botani dan Morfologi Koro Tunggak

Klasifikasi tanaman koro pedang menurut Suryaningrum (2014) adalah sebagai berikut:
Kingdom : Plantae
Subkingdom : Tracheobionta
Superdivision : Spermathopytha
Division : Magnoliopytha
Class : Magnoliopsida
Subclass : Rosidae
Order : Fabales
Family : Fabaceae atau Leguminoceae
Genus : Canavalia adons
Species : Canavalia ensiformis (L.) DC
Menurut Suryaningrum (2014), koro pedang dikenal dua jenis, jenis koro putih (jack bean) yang lebih dikenal dengan koro tunggak atau koro bedog yang tumbuh tegak dan berbiji putih dan jenis koro merah (red bean) yang tumbuh merambat (climbing) dan berbiji merah, lebih dikenal dengan koro pedang, merupakan salah satu kelompok kacang polong (legume) yang berpotensi tinggi untuk dimanfaatkan sebagai bahan baku untuk menghasilkan produk olahan pangan
Bentuk tanaman koro pedang menyerupai perdu batangnya bercabang pendek dan lebat dengan jarak percabangan pendek dan perakaran termasuk akar tanggung. Tanaman koro pedang dapat tumbuh sampai pada ketinggian 2000 m dpl, tumbuh baik pada suhu rata-rata 14-27C di lahan tadah hujan atau 12-32ºC di daerah tropik dataran rendah. Tanaman koro pedang, terutama tipe tegak dapat tumbuh baik pada curah hujan tertinggi 4200 mm/tahun dan curah hujan terendah sampai 700 mm/tahun. Tanaman koro pedang memiliki daun dengan panjang tangkai daun 7-10 cm, lebar daun sekitar 10 cm, tinggi tanaman dapat mencapai 1 meter. Bunga berwarna kuning, tumbuh pada ketiak atau buku cabang. Bunga termasuk bunga majemuk dan berbunga mulai umur 2 bulan hingga umur 3 bulan. Polong dalam satu tangkai berkisar 1-3 polong, tetapi umumnya 1 polong atau tangkai. Panjang polong 30 cm dan lebar 3,5 cm, polong muda berwarna hijau dan polong tua berwarna kuning jerami. Biji berwarna putih dan tanaman koro dapat dipanen pada 9-12 bulan, namun terdapat varietas genjah berumur 4-6 bulan. Biji memiliki massa sekitar 1,5 gram dan memiliki diameter berkisar 13-14 mm dengan berat jenis per biji kacang adalah 1,19 g/cm3.
Biji berbentuk lonjong menjorong dan lembaga berwarna hitam. Keuntungan tanaman ini adalah memiliki adaptasi yang luas pada lahan suboptimal, terutama pada lahan kering masam, mudah dibudidayakan secara tunggal atau tumpang sari, cepat menghasilkan biomasa untuk pupuk hijau atau pakan, dan mengandung protein yang tinggi. Hasil tanaman berkisar 1-4,5 ton biji koro pedang kering/ha, tergantung populasi dan teknik produksi dan lingkungan produksi lainnya (Anonim, 2012).
Menurut Sudiyono (2010) dalam Ekafitri (2013), dari kandungan gizi, koro pedang memiliki semua unsur gizi dengan nilai gizi yang cukup tinggi, yaitu karbohidrat 60,1%, protein 30,36%, dan serat 8,3%. Melihat kandungan gizinya yang lengkap, sangat disayangkan bahwa koro pedang belum banyak dimanfaatkan oleh masyarakat. Retnaningsih (2010), menyatakan bahwa biji koro mempunyai kandungan gizi yang cukup tinggi.

Kandungan Gizi Koro Tunggak dan Kedelai
Koro pedang (Canavalia ensivormis L) merupakan tanaman dari suku polong-polongan yang mengandung protein & karbohidrat tinggi, tetapi kandungan lemak yang rendah, hal ini menandakan bahwa koro pedang berpeluang sebagai pengganti kedelai pada olahan tahu yang rendah lemak dan aman untuk penderita diabetes dan protein koro hampir sama dengan protein kedelai . kandungan gizi dari koro pedang dapat dilihat pada tabel 2:
Tabel 2: Prosentase perbandingan kandungan gizi koro tunggak dan kedelai dalam 100 g biji kering
No
Kandungan Bahan
Proporsi nutrisi dalam biji koro tunggak (%)
Proporsi nutrisi dalam kedelai (%)
1
Karbohidrat
36.0
30.1
2
Lemak
15.0
15.1
3
Protein
27.0
37.0
4
Antioksidan
5.0
-
5
Air
20.0
20.0
6
Asam Sianida (ppm)
7.0
-
7
Kalsium
35.8
19.6
Sumber: Anonim a (2015)
Pada tabel 2 dapat dilihat bahwa kandungan gizi per 100 gram biji koro tunggak hampir sama dengan kedelai, tetapi pada koro tunggak kandungan gizi tertinggi adalah karbohidrat. Karbohidrat disini adalah karbohidrat yang bersifat memberikan rasa kenyang dan lama untuk dicerna tubuh karena merupakan karbohidrat dengan kadar glukosa rendah berbeda dengan nasi karena kandungan gula pada karbohidrat koro tunggak adalah kandungan gula mono sakarida yang dapat dicerna tubuh dan mudah terurai menjadi energi.
Untuk membuat tahu, kedelai dan koro tunggak diproses terlebih dahulu menjadi susu. Dari hasil penelitian Kartika (2015), ditemukan kandungan gizi susu koro tunggak terhadap susu kedelai dan susu sapi mempunyai nilai gizi yang sama, tetapi pada koro tunggak mempunyai keunggulan proteinnya lebih tinggi dari kedua susu tersebut, yang dapat dilihat pada Tabel 3:


Tabel 3: Prosentase Perbandingan Kandungan Gizi Pada Susu Sapi, Koro Tunggak, dan Kedelai per 100 mL
No
Kandungan Bahan
Susu Sapi (%)
Susu Koro Tunggak (%)
Susu    Kedelai (%)
1
Karbohidrat
4.5
3.38
3.8
2
Lemak
0.3
0.45
0.3
3
Protein
2.9
5.47
4.4
4
Antioksidan
-
4.56
-
5
Air
88.6
10.5
88.6
6
Asam Sianida
-
3.89
-
Sumber: Kartika, 2015
Pada tabel 3, dapat diketahui bahwa kandungan protein susu koro pedang lebih tinggi dari kedelai dan sapi, selain itu kandungan lemak pada susu koro tunggak lebih rendah dari susu sapi. Hal ini memungkinkan koro tunggak juga dapat digunakan sebagai subsitusi susu lemak untuk penderita kegemukan atau orang yang ingin diet.
Dari hasil tabel 1 dan 2 dapat disimpulkan bahwa pada koro tunggak, walaupun kandungan lemak dan karbohidrat tinggi, akan tetapi kandungan proteinnya lebih baik dari kedelai. Sehingga peluang penggunaan koro tunggak sebagai subsitusi kedelai pada proses pembuatan tahu menguntungkan, selain dari segi gizi juga dari segi harga, dimana harga koro tunggak lebih rendah dari harga kedelai. Sebagai perbandingan harga kedelai saat ini untuk kualitas A Rp 10.000 / kg, kualitas B Rp 7.000 / kg, sedangkan kualitas C Rp 5.000 / kg, sedangkan untuk harga koro tunggak Rp 6.000 / kg untuk kualitas A, Rp 4000 / kg untuk kualitas B, dan Rp 2.500 / kg untuk kualitas C (Anonim, 2016). Untuk membuat tahu diperlukan kedelai kualitas A, sehingga jika tidak disubsitusi akan mengeluarkan Rp 10.000 / kg, jika disubsitusi maka hanya mengeluarkan Rp 8.000 / kg dengan asumsi penggunaan kedelai sebesar 50% dan 50% disubsitusi dengan koro tunggak. Sehingga dengan subsitusi, dapat menghemat pengeluaran sebesar Rp 2.000 / kg.


Perhitungan Ekonomi Pembuatan Tahu
Dananjoyo, A. (2005), melakukan penelitian di Kota Bogor, Provinsi Jawa Barat, dengan judul “Analisis Kelayakan Finansial Usaha Tempe”. Hasil penelitian menunjukkan bahwa usaha pengrajin tempe biasa dan tempe Malang di Kota Bogor layak untuk dilaksanakan, hal
ini dapat dilihat dengan hasil analisis kriteria kelayakan berikut: NPV pengrajin tempe biasa positif yaitu sebesar Rp 8.805.006,00 dan NPV pengrajin tempe Malang Rp 7.157.760,00; IRR pengrajin tempe biasa dan tempe Malang lebih tinggi dari tingkat diskonto 13 persen yaitu 35 persen pada tempe biasa dan untuk tempe Malang 32 persen; Net B/C Ratio pada tempe biasa dan tempe Malang yaitu 1,59 untuk tempe biasa dan 1,47 untuk tempe Malang
Menurut penelitian Suherliyanti, Lely. (2003) yang berjudul “Analisis Kelayakan Finansial Perusahaan Tahu Di Kabupaten Sumedang” menunjukkan bahwa usaha tahu Sumedang baik pada skala usaha menengah maupun skala usaha kecil layak untuk diusahakan. Hal ini terlihat dari nilai NPV, IRR, dan Net B/C yang diperoleh telah memenuhi syarat kelayakan investasi dengan memperhitungkan pajak penghasilan. Namun jika dibandingkan antara skala usaha menengah dan kecil, maka manfaat proyek lebih dirasakan oleh pengusaha pada skala menengah. Hal ini terlihat dari nilai kriteria yang diperoleh lebih baik pada skala usaha menengah dari pada skala kecil. Hasil analisis tingkat pengembalian investasi, investasi pada usaha tahu Sumedang ini relatif cepat. Pengembalian investasi untuk skala usaha menengah adalah selama 9 bulan lebih singkat dibandingkan pada skala usaha kecil yaitu selama 1 tahun 4 bulan. Tingkat pengembalian investasi akan berbeda-beda jika terjadi perubahan input dan output usaha tahu Sumedang ini. Namun demikian usaha tahu Sumedang ini menghasilkan tingkat pengembalian investasi yang cepat.


Menurut Suratiyah, 2015, total pembiayaan pada usaha digunakan rumus sebagai berikut :
TC = FC + VC
Keterangan :
TC=Biaya Total / Total Cost (Rp)
FC=Biaya Tetap / Fixed Cost (Rp)
VC=Biaya Variabel / Variable Cost (Rp)
Untuk input-input yang berbentuk barang modal yang tidak habis dalam satu kali proses produksi, maka perlu dihitung besarnya penyusutan. Besarnya penyusutan untuk setiap proses produksi ini hanya taksiran, karena tidak mungkin menetapkan secara tepat. Maka untuk menghitung biaya penyusutan digunakan metode garis lurus (straight line method) dalam penentuan besarnya penyusutan, dinyatakan dengan rumus : 
Na – Ns
D = Up
Keterangan :
D = Besarnya nilai penyusutan barang modal tetap (Rp/bln)
Na = Nilai awal barang modal tetap (Rp)
Ns = Nilai sisa dari barang modal tetap (Rp)
Up = Nilai ekonomis dari barang modal tetap (thn)
Untuk mengetahui besarnya penerimaan, digunakan rumus sebagai berikut :
TR = Y . Py
Keterangan :
TR =Penerimaan Total / Total Revenue (Rp)
Y =Jumlah tahu (papan tahu)
Py =Harga rata-rata tahu (Rp)
Untuk mengetahui besarnya keuntungan usaha pembuatan tahu dapat dihitung dengan menggunakan rumus sebagai berikut :
π= TR – TC
Keterangan :
π=Keuntungan / laba (Rp)
TR=Penerimaan Total / Total Revenue
Net Present Value (NPV) menurut Umar (2003), diperlukan untuk menghitung nilai sekarang dengan menentukan tingkat bunga yang relevan. Penilaian kelayakan finansial berdasarkan NPV yaitu:
  • Jika NPV > 0, maka usulan proyek diterima
  • Jika NPV = 0, nilai perusahaan tetap walau usulan proyek diterima ataupun ditolak.
  • Jika NPV < 0, maka usulan proyek ditolak.
Internal Rate Of Return (IRR) menggunakan nilai NPV1 dan nilai NPV 2 dengan cara coba-coba. Apabila nilai NPV1 telah menunjukkan angka n positif maka discount faktoryang kedua harus lebih besar dari SOCC dan sebaliknya apabila NPV 1 menunjukkan angka negatif maka discount faktor yang kedua berada di bawah SOCC atau discount faktor Ibrahim (2003)
Penilaian kelayakan finansial berdasarkan IRR yaitu:
  • IRR > tingkat bunga, maka usulan proyek diterima
  • IRR < tingkat suku bunga, maka usulan proyek ditolak
Menurut Kasmir dan Jakfar (2004), metode Payback Period (PP) merupakan teknik penilain terhadap jangka waktu (periode) pengembalian investasi suatu proyek atau usaha. Perhitungan ini dapat dilihat dari perhitunghan kas bersih (proceed) yang diperoleh setiap tahun. Nilai kas bersih merupakan penjumlahan laba setelah pajak ditambah dengan penyusutan (dengan catatan jika investasi 100% menggunakan modal sendiri).
Untuk menghitung Net B/C yaitu membagi jumlah nilai sekarang aliran kas manfaat bersih positif dengan jumlah nilai sekaranng aliran kas manfaat bersih negatif pada tahun-tahun awal proyek (Gittingar, 1986). Ketentuan penilaian menurut Net B/B adalah:
  • Net B/C Ratio > 1, maka proyek layak atau dapat dilaksanakan.
  • Net B/C Ratio = 1, maka proyek impas antara biaya dan manfaat sehingga terserah kepada pengambil keputusan untuk dilaksanakan atau tidak.
  • Net B/C Ratio< 1, maka tidak layak atau tidak dapat dilaksanakan.
Break Even Point (BEP) merupakan titik impas usaha. Dari nilai BEP dapat diketahui pada tingkat produksi dan harga berapa suatu usaha tidak memberikan keuntungan dan tidak pula mengalami kerugian Rahardi dan Hartono (2003)
Untuk mengetahui keuntungan perusahaan melalui metode ROI, maka dapat dilakukan dengan cara membagi laba bersih setelah pajak dengan total assets, kemudian untuk mendapatkan nilai persentasenya dikalikan 100% (Kasmir dan Jakfar, 2004).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar