Senin, 25 Juni 2018

PROFIL TANAH

PROFIL  TANAH
Yaitu Penampang vertical tanah dari permukaan sampai pada lapisan lunak dari bahan batuan yang telah mengalami pelapukan. Profil tanah terdiri dari beberapa horizon tanah.
Horizon adalah suatu lapisan tanah dengan garis yang hampir sejajar dengan permukaan tanah, dengan sifat yang berbeda-beda. Perbedaan muncul dari akibat proses pembentukan tanah. Perbedaan meliputi :
  • Tekstur
  • Struktur
  • Porositas
  • Konsistensi
  • Warna
  • Ketebalan
  • Reaksi reaksi tanah
  
Horizon tanah sering diberi symbol O, A, B, C, R.
Tidak semua tanah mempunyai horizon lengkap seperti tersebut diatas. Sebagai contoh tanah muda hanya mempunyai horizon  A  dan  C.
Tanah yang sudah berkembang umumnya mempunyai horizon A,  B, dan  C.

Ilustrasi tentang profil tanah dapat dilihat pada gambar berikut :

                                        HORIZON  “ O “
                                       
                                        HORIZON  “ A “
     
                                        HORIZON  “  B “
                         
                                         HORIZON  “ C “

                                          HORIZON  “ R “

HORIZON “ O “
             Merupakan horizon organic yang terletak paling atas. Horizon ini merupakan akumulasi bahan organic  dan merupakan horizon yang tipis, warnanya biasanya hitam kelam.
HORIZON “ A “
              Merupakan horizon mineral paling teratas dibawah horizon organic. Horizon ini merupakan horizon yang telah kehilangan fraksi lempung, besi (Fe), Alumunium (Al) , akibatnya tinggal mineral yang sukar mengalami pelapukan seperti pasir (Quartz).
Horizon ini dicirikan oleh tekstur tanah warna yang cerah. Horizon ini sering disebut horizon pencucian karena air hujan berinfiltrasi kebawah.
HORIZON “ B “
Merupakan horizon dibawah horizon “A”, cirinya adalah akumulasi lempung silikat, besi, aluminium, dan humus berada secara terpisah atau dalam bentuk  gabungan. Atas dasar itu maka horizon ini sering disebut horizon pengendapan.
Warna horizon ini lebih kelam, tekstur halus dan gumpal.
HORIZON “ C “
Merupakan horizon dibawah horizon “B” dan tidak terpengaruh oleh aktivitas biologis. Sifat sifatnya berbeda dengan horizon A dan B. Akumulasi kalsium dan magnesium berada pada horizon ini.
HORIZON “ R“
Merupakan batuan yang terkonsolidasi (Padat) seperti granit, batu kapur, dan lapisan bahan induk tanah.
Horizon A sering disebut topsoil (lapisan atas), warna gelap, pencucian hara, akar dan mikroorganisme melimpah.
Horizon B sering disebut sub soil (lapisan bawah), akumulasi, bahan bahan  cucian dari horizon atasnya , warna lebih cerah disbanding pada horizon A.
Horizon C merupakan bahan induk yang sebagian mengalami pelapukan, sedangkan Horizon R merupakan batuan induk.
Lima Faktor Pembentuk Tanah yaitu :
  • Bahan Induk
  • Iklim
  • Topografi
  • Kehidupan
  • Waktu














KEARIFAN LOKAL DAN PERAN PRANATA MANGSA TERHADAP TANAMAN SEMUSIM DATARA TINGGI

KEARIFAN LOKAL DAN PERAN PRANATA MANGSA TERHADAP TANAMAN SEMUSIM  DATARA TINGGI
Selama ini para petani, paling tidak di Jawa, mempunyai pelbagai cara dan sistem untuk akrab dengan iklim. Cara dan sistem itu sudah demikian lama berlaku, dan mendarah daging dalam kehidupan petani Jawa. Bisa dikatakan, cara dan sistem mengakrabi dan menanggulangi kekuatan alam itu sudah menjadi semacam budaya. Salah satu cara dan sistem yang telah menjadi budaya tersebut adalah pranatamangsa.
Petani Jawa adalah bagian dari bangsa agraris di Indonesia, yang telah hidup dengan tradisi pertanian padi basah kurang lebih 2000 tahun lamanya. Para petani itu, terutama yang mendiami daerah-daerah bekas kerajaan-kerajaan Jawa, mengikuti suatu sistem penanggalan pertanian, yang disebut pranatamangsa.
Pranatamangsa, arti harafiahnya adalah pengaturan musim. Agaknya, pemanfaatan pranatamangsa ini ikut menyumbang pada keberhasilan dan keagungan kerajaan-kerajaan Mataram Lama, Pajang dan Mataram Islam. Dengan pranatamangsa tersebut, orang pada zaman itu mempunyai pedoman yang jelas untuk bertani, berdagang, menjalankan pemerintahan dan keserdaduan.
Pranatamangsa ini mempunyai seluk beluk yang tak kalah rumitnya dengan penanggalan Mesir kuno, Cina, Maya dan Burma. Kata Daljoeni: “Di dalam pranatamangsa terdapat pertalian yang mengagumkan antara aspek-aspeknya yang bersifat kosmografis, bioklimatogis yang mendasari kehidupan sosial-ekonomi dan sosial-budaya masyarakat bertani di pedesaan. Sebagai keseluruhan pranatamangsa mencerminkan ontologi menurut konsepsi Jawa serta akhetip alam pikiran petani Jawa yang dilukiskan dengan berbagai lambang yang berupa watak-watak mangsa dalam peristilahan kosmologis yang mencerminkan harmoni antara manusia, kosmos dan realitas.
 Pengertian Pranata Mangsa Secara klimatologi, pranata mangsa mengumpulkan informasi mengenai perubahan musim serta saat-saatnya yang berlaku untuk wilayah Nusantara yang dipengaruhi oleh angin muson, yang pada gilirannya juga dikendalikan arahnya oleh peredaran matahari. Awal musim penghujan dan kemarau serta berbagai pertanda fisiknya yang digambarkan pranata mangsa secara umum sejajar dengan hasil pengamatan klimatologi. Kelemahan pada pranata mangsa adalah bahwa ia tidak menggambarkan variasi yang mungkin muncul pada tahun-tahun tertentu (misalnya akibat munculnya gejala ENSO). Selain itu, terdapat sejumlah ketentuan pada pranata mangsa yang lebih banyak terkait dengan aspek horoskop, sehingga cenderung tidak logis. Upaya penggunaan kembali Karena pranata mangsa dianggap sudah "usang" namun tetap dianggap penting sebagai pedoman bagi petani/nelayan mengingat fungsinya sebagai penghubung petani/nelayan dengan lingkungan upaya-upaya dilakukan untuk memodifikasi pranata mangsa dengan memanfaatkan informasi-informasi baru. Di bidang penangkapan ikan telah dilakukan upaya untuk menggunakan kalender semacam pranata mangsa sebagai pedoman bagi nelayan dalam melakukan penangkapan ikan]. Informasi ini berguna, misalnya, untuk menentukan kelaikan penangkapan serta musim-musim jenis tangkapan Di bidang pertanian tanaman pangan, telah dikembangkan Sekolah Lapang Iklim (SLI) untuk meningkatkan kemampuan petani dalam memahami berbagai aspek prakiraan cuaca dan hubungannya dengan usaha tani Kegiatan SLI dimaksudkan untuk membuat petani mampu "menerjemahkan" informasi prakiraan cuaca yang sering kali sangat teknis, sekaligus membuat petani mampu mengadaptasikannya dengan kearifan lokal yang telah lama dimiliki. Dalam kaitan dengan SLI, pranata mangsa menjadi rujukan untuk berbagai gejala alam yang diperkirakan muncul sebagai tanggapan atas kondisi cuaca/perubahan iklim. Pranata mangsa masih tetap dapat diandalkan dalam kaitan dengan pengamatan atas gejala alam. Kemampuan membaca gejala alam ini penting karena petani perlu beradaptasi apabila terjadi perubahan dengan mengubah pola tanam
  1. B.Pembagian musim
    Pranatamangsa ini membagi setahun dalam 12 mangsa: mangsa kasa (I), karo (II), katelu (III), kapat IV), kalima (V), kanem (VI), kapitu (VII), kawolu (VIII), ksangsa (IX), kasapuluh (X), desta (XI), saddha (XII). Masing-masing mangsa mempunyai bintang sendiri-sendiri. Bintang tersebut berlaku sebagai pedoman bagi awal dan akhirnya suatu mangsa.
    – Maka mangsa kasa, bintangnya Sapigumarang, – mangsa karo, bintangnya Tagih, – mangsa katelu, Lumbung, – mangsa kapat, Jarandawuk, – mangsa kalimat, Banyakangkrem, – mangsa kanem, Gotongmayit, – mangsa kapitu, Bimasekti, – mangsa kawolu, Wulanjarangirim, – mangsa kasanga, Wuluh, – mangsa kasapuluh, Waluku. – Dua mangsa terakhir, desta dan saddha tak mempunyai bintang yang khusus. Bintang kedua mangsa tersebut sama dengan bintang pada mangsa karo dan katelu, yakni lumbung dan tagih.
    Untuk mengetahui letak masing-masing mangsa, perlu diketahui terlebih dahulu bahwa petani juga membagi setahun dalam empat mangsa utama, yakni mangsa terang (82 hari), semplah (99 hari), udan (86 hari), pengarep-arep (98 hari). Simetris dengan pembagian tersebut, juga ada pembagian mangsa utama seperti berikut ini: mangsa katiga (88 hari), labuh (95 hari), rendheng (94 hari), mareng (88 hari).
    Lalu dengan peletakan yang demikian simetris, demikianlah tempat dua belas mangsa ditaruh dalam siklus tahunan yang selalu berulang (N. Daldjoeni: Ibid, hlm. 7-8):
    a. Satu tahun yang panjangnya 365 hari dibagi menjadi 2 tengah tahunan. Masing-masing tengah tahunan dipecah lagi atas 6 mangsa, yang panjang harinya berturut-turut adalah: 41-23-24-25-27-43
    b. Dalam pada itu, mangsa ke-I (kasa) dimulai pada saat matahari ada di zenith untuk garis balik Utara Bumi (tropic of Cancer), yakni tanggal 22 Juni. Mangsa ke VII (kapitu) dimulai pada tanggal 22 Desember ketika matahari ada di zenith garis balik Selantan Bumi (tropic of Capricorn).
    c. Kedua periode tengah tahunan itu saling bergandengan pada mangsa yang paling panjang, yakni mangsa terang (mangsa sadha dan kasa) yang lamanya 82 hari dan mangsa udan (mangsa kanem dan mangsa kapitu) yang lamanya 86 hari.
    d. Mangsa terang diapit oleh dua mangsa yang kontras, yakni mangsa panen (mangsa dhestha) dan mangsa paceklik (mangsa karo). Mangsa udan diapit oleh dua mangsa dengan letak matahari di zenith untuk pulau Jawa, yakni mangsa kalima dan mangsa kawolu.
    e. Mangsa pangarep-arep (harapan) yang mengandung musim berbiak bagi berbagai hewan serta tanaman makanan pokok, berhadapan dengan mangsa semplah (putus asa) yang masing-masing meliputi 3 mangsa, yakni kawolu, kasanga, kasapuluh berhadapan dengan mangsa katelu, kapapat dan kalima.
    Periode-periode musim yang ditandai dengan nama-nama mangsa itu berulang secara teratur dalam setiap tahun. Petani dapat membuktikan pengulangan musim yang teratur itu dengan mengamati rasi bintang yang muncul secara teratur dan periodik pula. Misalnya, rasi bintang Lumbung (Crux) pada mangsa katelu, Banyakangkrem (scorpio) pada mangsa kalima, Waluku (Orion) pada mangsa kasapuluh, wuluh (pleyades) pada mangsa kasambilan, wulanjarngirim (Centauri) pada mangsa kawolu, bimasakti (Milkmay)) pada mangsa kapitu, dan sebagainya.
    Munculnya rasi bintang tertentu, disusul oleh munculnya rasi bintang tertentu lainnya adalah patokan untuk menentukan saat mulai serta saat berakhirnya masing-masing mangsa. Berbarengan dengan itu, panjang bayangan manusia pada tengah hari juga dipakai untuk menentukan panjang pendeknya suatu mangsa tertentu. Di samping itu, dalam pembagian mangsa-mangsa, petani juga memperhatikan asal-usul angin serta gerakan-gerakan angin. Sesungguhnya semuanya itu tidaklah lain daripada penyesuaian udara pada pergeseran perjalanan matahari di sepanjang tahun.
    C.Watak-watak mangsa
    Atas dasar semuanya itu ditentukanlah watak setiap mangsa, dan pengaruhnya terhadap kehidupan manusia dalam mengolah tanaman dan pertaniannya. Jadi penentuan watak mangsa yang mungkin berkesan mistis itu sesungguhnya mempunyai pijakan yang berdasarkan pengalaman nyata dan pengamatan yang sangat rasional. Dengan kata lain, di balik suatu penentuan watak mangsa selalu ada pengalaman nyata dan dasar rasionalnya. Demikianlah misalnya urutan watak-watak mangsa itu.
    Sotya murca ing embanan (ratna jatuh dari tatahan). Itulah watak dari mangsa kasa (I), yang jatuh pada mangsa ketiga, masa terang yang biasanya kering. Mangsa ini ditandai dengan gejala alam, daun-daun yang berguguran, dan bintang beralih. Dihitung dengan penanggalan umum, mangsa ini berawal pada 22 Juni dan berakhir pada 1 Agustus. Menurut Daldjonei, kondisi meteorologisnya: sinar matahari 76%, lengas udara 60,1%, curah hujan 67,2 mm, suhu udara 27,4 derajat Celcius (Lih. ibid. hlm. 12). Pada masa ini manusia merasa ada sesuatu yang hilang dalam alam, walau cuacanya sedang terang.
    Lalu masuklah manusia ke dalam mangsa karo, yang wataknya adalah bantala rengka (tanah retak). Mangsa ini berlangsung 1 Agustus sampai 24 Agustus. Pada masa yang juga jatuh pada satuan mangsa ketiga ini, hawa menjadi panas. Kondisi meteorologis kurang lebih sama dengan mangsa kasa (I), kecuali curah hujan turun menjadi 32,2 mm. Pada masa ini manusia mulai merasa resah, karena suasana kering dan panas, rasanya bumi seperti merekah. Memang mangsa sedang memasuki alam paceklik. Alam paceklik itu makin menajam, ketika manusia memasuki mangsa katelu, yang wataknya adalah suta manut ing bapa (anak menuruti ayah). Mangsa ini berlangsung dari 25 Agustus sampai 17 September. Kondisi meteorologis sama dengan mangsa sebelumnya, hanya curah hujan naik lagi menjadi 42,2 mm. Mangsa yang juga bagian dari mangsa ketiga ini ditanda dengan sumur-sumur yang mengering dan angin yang berdebu. Tak ada yang dapat dibuat manusia, kecuali pasrah sambil berharap semoga masa ini segera berakhir.
    Harapan itu mulai cerah, ketika alam memasuki mangsa kapat, yang wataknya adalah waspa kumembeng jroning kalbu (airmata tersimpan dalam hati). Masa yang berlansung dari 18 September sampai 12 Oktober ini jatuh pada musim labuh, di mana kemarau mulai berakhir. Sinar matahari 72%, lengas udara 75,5%, sedang curah hujan 83,3mm, dan suhu udara 26,7 derajat Celcius. Di sini manusia masih harus menunda kegembiraannya, ia masih harus menunggu sampai semua kesedihan dan kekeringan sungguh berlalu.
    Maka datanglah mangsa katelu, yang juga jatuh pada musim labuh. Mangsa ini berlangsung dari 13 Oktober sampai 8 November. Kondisi meteorologi sama dengan mangsa karo, hanya curah hujan naik menjadi 151,1%. Watak dari mangsa ini adalah pancuran mas sumawur ing jagad (pancuran masa berhamburan di bumi). Mangsa ini ditandai dengan turunnya hujan yang pertama. Manusia pun mulai diliputi sukacita atas kesegaran air hujan yang turun dari langit seperti pancuran masa.
    Lalu tibalah mangsa kanem, juga masih di musim labuh. Mangsa ini berlangsung dari 9 November sampai dengan 21 Desember. Kondisi metereologis sama dengan mangsa sebelumnya, hanya curah hujan meninggi, jadi 402,2 mm. Alam menghijau, dan hati merasa tentram. Memang mangsa ini amat indah, sesuai dengan watak dan candranya: rasa mulya kasucen, rasa mulia yang berasal dari kesucian. Alam memberi rasa persahabatan yang luar biasa. Seakan semuanya muncul dari kesuciannya. Dan manusia pun diundang untuk ikut merasakan kesucian itu. Ia tidak menjadi serakah, justru hatinya menjadi penuh rasa syukur, karena pada saat inilah ia menerima dari alam berkah yang amat berlimpah-limpah. Sawah-sawah mereka menghijau, air mengalir jernih, memberi rasa hati yang aman tentram.
    Kemudian musim masuk ke dalam satuan besar mangsa rendheng, yang terdiri dari mangsa kapitu, kawolu dan kasanga. Di mangsa kapitu 22 Desember sampai dengan 2 Februari, ketentraman manusia sejenak terganggu. Kondisi meterologis mangsa ini adalah sinara matahari 67%, lengas udara 80, curah hujan 501,4, dan suhu udara 26,2 derajat Celcius. Watak dari mangsa ini adalah wisa kentar ing maruta, bisa terbang tertiup angin. Inilah musim datangnya penyakit, dan alam ditandai dengan banjir. Petani tetap menerima masa ini dengan penuh syukur. Sebab dalam masa ini, alam yang kelihatannya kurang bersahabat sesungguhnya sedang menyimpan berkah panen yang demikian kaya. Di samping itu, tanaman memang sedang membutuhkan siraman air sebanyak-banyaknya.
    Tanda-tanda kegembiraan dan berkah kemudian mulai terlihat, ketika kucing-kucing mulai kawin. Kendati alam dipenuhi dengan sambaran kilat, birahi kucing-kucing itu adalah pratanda, bahwa hal yang gembira sedang berada di ambang mata. Memang inilah tanda ketika mangsa kapitu beranjak ke mangsa kawolu (3 Februari sampai 28 Februari), yang wataknya adalah anjrah jroning kayun, sesuatu sedang merebak di dalam kehendak. Kondisi metereologis sama dengan mangsa sebelumnya, kecuali curahnhujan turun menjadi 371,8 mm. Dalam mangsa ini, kendati mendung dan kilat, manusia tidak diliputi rasa takut, karena kehendaknya menyegar bersama turunnya hujan yang dahsyat. Hujan yang menyapu segala kekeringan. Hujan yang menabungkan air bila kelak bumi dilanda kekeringan.
    Lalu garengpung mulai berbunyi di mana-mana. Suara mereka keras, seakan menyanyikan apa yang hendak dikatakan oleh alam. Memang pada saat ini, kulit manusia menjadi peka terhadap penyakit. Tapi kekhawatiran itu tak terbandingkan dengan gairah yang ada di ujung musim penghujan. Begitulah keadaan mangsa kasanga (1 Maret sampai 25 Maret), yang wataknya adalah wedare wacana mulya, keluarnya sabda mulya. Kondisi meteorologis sama dengan mangsa sebelummya, hanya curah hujan menurun lagi jadi 252,5 mm.
    Dengan habisnya mangsa kasanga, berakhir sudah satuan mangsa rendheng. Alam pun memasuki satuan mangsa terakhir dalam setahun, yaitu mangsa mareng, yang dibagi dalam mangsa kasapuluh, destha dan sada. Mangsa kasapuluh (26 Maret sampai 18 April) ini ditandai dengan awal perkembang-biakan. Burung-burung mulai bertelur. Kendati demikian, mangsa ini serasa menyimpan antisipasi yang sedikit muram, mungkin karena tak lama kemudian akan datang musim kemarau yang penuh dengan kekeringan. Karena itu di mangsa ini, orang merasa gampang lesu dan pusing-pusing. Itulah mangsa kasapuluh, yang wataknya adalah gedong minep jroning kalbu, gedung tertutup dalam hati. Kondisi meterologis mangsa ini adalah sinara matahari 60%, lengas udara 74%, curah hujan 181,6 mm, dan shu udara 27,8 derajat Celcius.
    Akhirnya burung-burung pun mulai menetas. Alam menunjukkan daya ciptanya lagi. Kesuburan seakan diasah kembali, kendati kemarau sudah di ambang mata. Itulah saat ketika alam sedang masuk ke dalam mangsa destha (19 April sampai dengan 11 Mei), yang wataknya adalah sotya sinarawedi, intan yang diasah. Kondisi meterologis sama dengan di atas, kecuali curah hujan menurun jadi 129,1 mm.
    Hujan pun mulai sungguh habis. Maka masuklah alam ke dalam mangsa sada (12 Mei sampai dengan 21 Juni), yang wataknya adalah tirta sah saking sasana, air lenyap dari tempatnya. Kondisi meteorologis masih sama dengan sebelumnya, hanya curah hujan naik lagi menjadi 149,2 mm. Inilah saat, di mana kemarau mulai tiba. Dan manusia pun bersiap untuk memasuki satuan mangsa katiga, mangsa yang mengawali peredaran siklus dalam setiap tahunnya.
    Begitulah kurang lebih sketsa watak-watak mangsa. Penyertaan kondisi metereologis yang dicantumkan oleh Daldjoeni kiranya memberi kita pengetahuan, bahwa watak-watak mangsa itu berkaitan dengan kondisi empiris-metereologis yang nyata.
    Pengetahuan dan kebijaksanaan alam
    Dari paparan di atas tampak, bahwa pranatamangsa menyimpan pengalaman manusia dalam bergaul dengan tantangan dan berkah alam. Pranatamangsa juga merupakan abstraksi dan refleksi manusia tentang pengalaman hidupnya dengan alam. Dengan refleksinya itu, manusia belajar bagaimana selanjutnya menyiasati sikap dan tindakannya terhadap alam.
    Dalam pranatamangsa juga amat tampak, betapa petani Jawa sangat akrab dengan alam. Bagi petani Jawa, alam bukanlah lawan yang harus ditaklukkan, melainkan teman yang dicintai. Karena keakrabannya itu, petani Jawa mengenal segala watak dan perilaku alam. Watak dan perilaku tersebut diterima dan dirumuskan dengan bahasa yang demikian manusiawi.
    Dari bahasa tersebut alam terbaca sebagai kehidupan yang tak ubahnya seperti kehidupan manusia sendiri. Dari pranatamangsa juga terbaca, bagaimana alam menjadi teman di mana manusia menumpahkan harapannya, tapi juga mengungkapkan keputusasaannya. Apa yang menjadi kegembiraan manusia, juga menjadi kegembiraan alam. Dan apa yang menjadi kesedihannya, juga menjadi kesedihan alam. Atau sebaliknya: Jika alam bergembira, manusia pun bergembira. Sebaliknya, jika alam berada dalam kesedihan dan kekeringannya, manusia pun ikut dalam kesedihan dan kekeringannya.
    Tak ada yang permanen dalam alam. Alam selalu bergerak dalam siklusnya. Dan manusia dengan rela begerak dalam siklus itu, jatuh dan bangun dalam kegembiraan dan kesedihan alam, berputusasa dan berharapan dalam kekeringan dan kelimpahan alam. Misalnya, pada mangsa kawolu, yang dimulai sekitar awal Februari sampai awal Maret. Saat ini ditandai dengan guntur yang bersahut-sahutan. Suasana terasa sedih, walau alam sedang diguyur kesegaran hujan.
    Karena itu mangsa ini juga disebut mangsa paceklik rendhengan. Wataknya “anjrah jroning kayun” juga disebut pula cantika, yang artinya terhenti segala pikiran, perasaan dan kehendak. Dalam suasana yang pasif-pasrah ini, bila malam tiba, muncullah di langit bintang wulanjar ngirim, yang mengisyaratkan arti tentang janda muda yang belum beranak sedang mengantar kiriman makanan ke sawah. Suasana alam dengan segala metaforanya yang di satu pihak sedih tapi di lain pihak gembira ini membuat petani terangsang untuk bangkit dari kelesuannya dan menggali kembali harapannya (Lih. Daldjoeni: Ibid. hlm. 25). Mangsa kawolu, berserta mangsa kasanga dan kasapuluh itu, panjangnya kurang lebih 75 hari, mulai 3 Februari sampai 19 April. Mangsa ini juga disebut mangsa pangarep-arep, mangsa harapan. Dengan istilah ini hendak diisyaratkan, kendati dirundung sedih karena mangsa paceklik rendhengan yang memang kelabu dan lesu, petani juga mempunyai harapan bahwa mereka akan segera bangkit dari kesedihannya bersama alam. Dan harapan itu bukan khayalan, karena pada waktu itu terlihat padi-padi telah menguning.
    Toh ketika harapan ini benar-benar menjadi kenyataan, mereka tetap diingatkan untuk waspada dan berjaga-jaga sampai berakhirnya mangsa kasapuluh. Sikap waspada dan berjaga-jaga itu perlu, agar nanti panenan mereka berhasil. Kewaspadaan itu adalah tuntutan dari kesabaran, yang harus mereka tanggung ketika mereka sedang menunggu datangnya mangsa dhesta, mangsa panen. Mereka disabarakan oleh alam, karena sebentar lagi alam akan memasuki mangsa dhesta, mangsa panen, yang terjadi pada awal April.
    Terlihat juga dengan pranatamangsa ini, manusia dibantu untuk ikut prihatin dan berharap bersama siklus alam, yang memang secara teratur berjalan dalam kekurangan dan kelimpahannya, kering dan segarnya, kemarau dan hujannya. Ini tentu membantu petani untuk merancang kehidupan ekonominya.
    Dengan patokan pranatamangsa itu, mereka akan dibantu bagaimana berhemat dan berprihatin ketika alam berada dalam kekurangannya, dan bagaimana mereka boleh bergembira dan berpesta ketika alam mengantar mereka masuk dalam kelimpahannya.
    Pranatamangsa memberi petani pegangan, bagaimana mereka mengatur ekonominya dengan menjalin keputus-asaan dan harapan, yang tak dapat dipisahkan dari situasi alam, yang memang harus berjalan dari kekurangan menuju kelimpahan, dari kekeringan menuju kesuburan, dari paceklik menuju panenan. Penyesuaian diri dengan alam dengan demikian membuat manusia pandai mengolah kekurangannya, dan kuat dalam menanggung harapannya, karena mereka selalu menyimpan harapan yang tak lain adalah berkah kelimpahan alam sendiri.

    D.Pedoman untuk mengolah tanaman
    Sementara pranatamangsa juga bisa berfungsi sebagai pedoman bagi petani untuk mengolah tanamannya.
    Pada mangsa kasa (I), ketika daun-daun kelihatan berguguran, dan belalang mulai bertelur, petani mulai menanam palawija. Pada mangsa karo, ketika tanah-tanah merekah, dan pohon-pohon mangga serta kapuk mulai berbuah, petani mulai mengairi sawah dan tanaman palawijanya.
    Pada mangsa katiga, pohon-pohon bambu, gadung, temu dan kunyit subur bertumbuh. Pada saat inilah orang mulai memetik tanaman palawijanya.
    Pada mangsa kapat, pohon-pohon kapuk sedang berlimpah dengan buahnya. Burung pipit dan burung manyar membuat sarangnya. Inilah masa petani mulai bersiap-siap untuk mengolah sawahnya.
    Dan dengan datangnya mangsa kalima, mereka pun giat membajak dan mencangkuli sawahnya. Berbarengan dengan itu, pohon-pohon asam sedang rimbun dengan daun mudanya. Kunyit dan gadung pun mulai berdaun. Hujan mulai deras, dan ulat-ulat keluar.
    Pada mangsa kanem, ketika pohon-pohon mangga dan rambutan sedang masak berbuat, dan di parit-parit banyak terlihat binatang lipasan, para petani merawat dan membersihkan sawahnya.
    Dan pada mangsa kapitu, bersama-sama dengan derasnya air karena hujan yang turun menderas, petani mulai menanam padi di sawah-sawah mereka.
    Pada mangsa kawolu, tanaman padi kelihatan tumbuh meninggi, dan di sana sini kelihatan pula buliur-bulirnya. Petani segera bersiap untuk menyianginya.
    Dan datanglah mangsa kasanga. Inilah saatnya bulir-bulir padi menjadi masak, bersama merdunya suara cenkerik dan cenggaret. Padi-padi benar-benar menjadi tua.
    Dengan datangnya mangsa kasapuluh, yang ditandai dengan kegiatan burung-burung yang terbang ke sana kemari untuk membuat sarangnya. Dan ketika burung-burung sedang mengerami telurnya, petani memanen padi di sawah-sawah.
    Itulah yang terjadi sampai datangnya mangsa dhesta dan sada, masa ke sebelas dan dua belas. Waktu itu padi-padi dipotong, dan petani menyiapkan diri lagi untuk menghadapi datangnya mangsa katiga, yang kering dan sulit.
    Tampak dari dinamika ini suatu proses, yang titik berangkatnya adalah masa yang sulit, dan tujuan akhirnya adalah masa yang segar dan penuh berkah panenan. Jelasnya, petani menandai penanggalan alamnya bukan dengan dimulainya masa yang subur, tapi dengan masa yang sulit dan kering (mangsa kasa, karo dan katelu, yang merupakan satuan mangsa katiga). Lalu dari sana mereka beranjar menyongsong masa yang subur dan bahagia, yakni masa kasapuluh, dhesta dan sada, yang kaya raya dengan panenan padi.
    Dari sana tampak mentalitas, kejiwaan dan pandangan hidup petani: Mereka seperti alam, yang pelahan-lahan bekembang, mulai dari tunasnya sampai pada buahnya, mulai dari kelahirannya sampai kepada kedewasaan dan kematangannya. Dan uniknya, itu tidak berarti bahwa harapan mereka baru terpenuhi di ujung nanti.
    Seperti tampak dalam paparan di atas, harapan itu sudah terkandung dalam setiap masa. Sebab dalam masa yang paling peceklik pun mereka tetap mempunyai harapan. Itu karena sekali lagi, mereka mengiramakan diri dalam siklus alam. Tak mungkin alam hanya berisi kekeringan. Dan situasi yang paling kering sekali pun, alam sudah menyimpan dalam dirinya kesuburan.
    Dinamika alam ini tidak pernah membohongi petani. Suatu saat nanti, alam pasti akan memberikan berkahnya, setelah semua proses pertumbuhan dilalui. Ini tentu membuat petani mampu bertahan dalam segala kesulitannya: Bersama alam, mereka bertahan dalam harapan.
    Begitulah, buat petani alam bukanlah sekadar tanah atau barang mati yang harus diolah. Alam adalah kehidupan, seperti manusia sendiri juga kehidupan. Dari keyakinan ini, kita bisa mengerti, mengapa pranatamangsa juga percaya, bahwa setiap mangsa mempunyai dewa dan lambang kehidupannya sendiri-sendiri. Maka
    – mangsa kasa dewanya Wisnu, dengan disertai lambang binatang domba. – mangsa karo dewanya Sambu, dengan disertai lambang binatang banteng. – mangsa katelu dewanya Rudra dengan disertai lambang kehidupan sebuah tanaman yang sedang mulai tumbuh dan bertunas. – mangsa kapat dewanya Yama dengan disertai lambang binatang kepiting. – mangsa kalima dewanya dewi Metri, dengan disertai lambang binatang singa. – mangsa kanem dewanya Naya, dengan disertai lambang seorang perempuan bernama Roro Kenya. – mangsa kapitu dewanya Sanghyang dengan disertai lambang neraca keseimbangan. – mangsa kawolu dewanya Durma, dengan disertai lambang binatang kelabang. – mangsa kasanga dewanya Wasana, dengan disertai lambang binatang burung garuda. – mangsa kasapuluh dewanya Basuki dengan disertai lambang binatang kambing. – mangsa dhesta dewanya Prajapati dengan disertai lambang kehidupan air yang tertumpah. – mangsa sada dewanya Gana dengan disertai lambang binatang mina atau ikan.
    Dewa-dewa ini kiranya berfungsi sebagai penjaga dan pelindung masing-masing mangsa. Itu menunjukkan, bahwa masing-masing mangsa mempunyai kekuasaan, wewenang dan kekuatannya sendiri. Dan tentu saja, dewa-dewa penjaga atau pelindung itu adalah tanda, bahwa setiap mangsa adalah kehidupan, kekuasaan dan wewenang yang tak dapat begitu saja disingkirkan atau disepelekan.
    Dari paparan di atas, kiranya kita boleh menarik beberapa kesimpulan ini. Jelas, dalam pranatamangsa tercermin alam pikiran agraris para petani Jawa. Dengan pranatamangsa, petani mencoba menyesuaikan diri dengan irama alam yang abadi, sehingga terjadilah kelerasan antara kosmos dan manusia. Seperti dikatakan oleh Daldjoeni, “Dalam kebijaksanaan kosmologis sebenarnya terletak rahasia dan kekuatan menderita manusia” (Ibid. hlm. 32).
    Memang, dengan menyelaraskan diri pada alam, petani terbukti telah memungut demikian banyak berkah yang diberikan oleh alam. Jika mereka harus menderita, mereka tidak menderita sendiri. Alam menemani mereka dalam penderitaan. Dan jika demikian, dalam penderitaan itu tersimpan janji perubahan, sebab alam sendiri selalu beranjak menuju perubahan. Tak selamanya orang berada dalam musim kering, artinya suatu saat orang pasti akan menikmati kesegaran dan berlimpahnya hujan. Tak selamanya orang menjadi kecil dan kerdil: Seperti pohon, mereka pun akan tumbuh menjadi besar, jika mangsanya telah tiba.
    E. Contoh Tempat Dataran Tinggi Dieng.
    1. Tempat Dieng
Dataran Tinggi Dieng (Dieng Plateau) terletak 55 km di sebelah Timur Laut kota Banjarnegara dan 26 km sebelah Utara kota Wonosobo. Sebuah kawasan wisata seluas 8.359 Ha, yang merupakan perpaduan antara keindahan alam dan cagar budaya peninggalan leluhur di sekitar abad VII.
Dilihat dari sisi kondisi gunung dan geologis tanahnya, dataran dengan ketinggian 2.093 meter diatas permukaan laut, dulu merupakan sebuah gunung berapi yang sangat besar dan tinggi. Suatu saat gunung tersebut meletus denga dahsyatnya, melemparkan badan puncaknya ke daerah sekelilingnya yang kini membentuk bukit-bukit besar maupun kecil, seperti rangkaian perbukitan Gunung Perahu (2.565 m), Jurang Grawah (2.450 m), Gunung Kendil (2.326 m), serta perbukitan lain, diantaranya Gunung Pakuwojo, Bismo Pangonan dan Sipendu dengan ketinggian antara 2.245 m – 2.395 m. Sebagaimana umumnya masyarakat pedesaan di Jawa, mata pencaharian penduduknya kebanyakan bersumber pada sektor pertanian yaitu petani pemilik, petani penggarap dan petani ladang atau petani kebun. Sedangkan mata pencaharian penduduk di sektor lainnya merupakan jenis mata pencaharian penduduk yang jumlahnya relatif lebih sedikit dibandingkan dengan jenis mata pencaharian penduduk di sektor pertanian. .Masyarakat Dieng hidup sebagai petani atau buruh tani di dataran tinggi ditanami tanaman, kentang, kacang dieng, kubis (kol), carica serta palawija. Di depan rumah mereka yang berada di tepi jalan yang dekat ladang terdapat onggokan "lemi" (sejenis pupuk kompos). Lemi menurut bahan bakunya dibedakan menjadi 2 (dua) jenis. Pertama, lemi yang bahan bakunya dari ampas tebu, jerami, sekam dan lumpur rawa. Lemi jenis ini dapat diperoleh dari PT Dieng Djaya yang sebenarnya merupakan pupuk kompos yang tidak terpakai lagi (afkiran) setelah dipergunakan dalam budidaya Champignon oleh petani PIR di daerah lokasi Telaga Merdada, desa Karang Tengah dan desa Sumberejo. Kedua, lemi yang bahan bakunya terdiri dari "belek" kandang dengan istilah "CM" yang merupakan campuran dari kotoran ayam, sapi, kerbau, kuda bahkan babi. Untuk lemi jenis ini dapat diperoleh masyarakatsecara mudah, karena lemi tersebut berasal dari daerah Jakarta dan Yogyakarta. Dengan adanya lemi tersebut, terutama yang bahannya terdiri dari kotoran binatang ternak, maka bila kita melewati jalan menuju daerah lokasi wisata kerapkali tercium bau anyir yang tidak sedap dan menusuk hidung (polusi udara). 
Namun walaupun demikian masyarakta di dataran tinggi dieng dalam menanam atau bercocok tanam masih menggunakan cara tradisional seperti pranata mangsa
F. Contoh Tanaman Yang ada di Dieng  Dan Modifikasinya
Tanaman yang paling dominan di dataran tinggi dieng adalah kentang dan wortel berikut pemaparan tanaman kentang, wortel dan modifikasinya,

1.Kentang

Kentang (Solanum tuberosum L.) adalah tanaman dari suku Solanaceae yang memiliki umbi batang yang dapat dimakan dan disebut "kentang" pula. Umbi kentang sekarang telah menjadi salah satu makanan pokok penting di Eropa walaupun pada awalnya didatangkan dari Amerika Selatan.

Klasifikasi Ilmiah: 
Kerajaan :Plantae
Divisi       :Magnoliophyta
Kelas           :Magnoliopsida
Upakelas     :Asteridae
Ordo            :Solanales
Famili         :Solanaceae
Genus         :Solanum
Spesies        :S. Tuberosum
Syarat Pertumbuhan Tanaman Kentang

A. Iklim

Curah hujan rata-rata 1500 mm/tahun, lama penyinaran 9-10 jam/hari, suhu optimal 18-21 0C, kelembaban 80-90% dan ketinggian antara 1.000-3.000 m dpl. Lama penyinaran yang diperlukan tanaman kentang untuk kegiatan fotosintesis adalah 9-10 jam/hari. Lama penyinaran juga berpengaruh terhadap waktu dan masa perkembangan umbi.
Suhu optimal untuk pertumbuhan adalah 18-21 0C. Pertumbuhan umbi akan terhambat apabila suhu tanah kurang dari 10 0C dan lebih dari 30 0C.
Kelembaban yang sesuai untuk tanaman kentang adalah 80-90%. Kelembaban yang terlalu tinggi akan menyebabkan tanaman mudah terserang hama dan pe nyakit, terutama yang disebabkan oleh cendawan.
Waktu tanam yang tepat adalah diakhir musim hujan pada bulan April-Juni, jika      lahan memiliki irigasi yang baik/sumber air kentang dapat ditanam dimusim kemarau. Jangan menanam dimusim hujan. Penanaman dilakukan dipagi/sore hari.

B. Media Tanam

Secara fisik, tanah yang baik untuk bercocok tanaman kentang adalah yang berstruktur remah, gembur, banyak mengandung bahan organik, berdrainase baik dan memiliki lapisan olah yang dalam. Sifat fisik tanah yang baik akan menjamin ketersediaan oksigen di dalam tanah.Tanah yang memiliki sifat ini adalah tanah Andosol yang terbentuk di pegunungan-pegunungan.
Keadaan pH tanah yang sesuai untuk tanaman kentang bervariasi antara 5,0-7,0, tergantung varietasnya. Untuk produksi yang baik pH yang rendah tidak cocok ditanami kentang. Pengapuran mutlak diberikan pada tanah yang memiliki nilai pH sekitar 7.

C. Ketinggian tempat

Daerah yang cocok untuk menanam kentang adalah dataran tinggi/daerah pegunungan, dengan ketinggian antara 1.000-3.000 m dpl. Ketinggian idealnya berkisar antara 1000-1300 m dpl. Beberapa varitas kentang dapat ditanam di dataran menengah (300-700 m dpl).

2. Modifikasi tanaman kentang

Penyulaman

Untuk mengganti tanaman yang kurang baik, maka dilakukan penyulaman. Penyulaman dapat dilakukan setelah tanaman berumur 15 hari. Bibit sulaman merupakan bibit cadangan yang telah disiapkan bersamaan dengan bibit produksi. Penyulaman dilakukan dengan cara mencabut tanaman yang mati/kurang baik tumbuhnya dan ganti dengan tanaman baru pada lubang yang sama.

Penyiangan

Lakukan penyiangan secara kontinyu dan sebaiknya dilakukan 2-3 hari sebelum/bersamaan dengan pemupukan susulan dan penggemburan. Jadi penyiangan dilakukan minimal dua kali selama masa penanaman. Penyiangan harus dilakukan pada fase kritis yaitu vegetatif awal dan pembentukan umbi.

Pemangkasan bunga

Pada varietas kentang yang berbunga sebaiknya dipangkas untuk mencegah terganggunya proses pembentukan umbi, karena terjadi perebutan unsur hara untuk pembentukan umbi dan pembungaan. 

Pemupukan

Selain pupuk organik, maka pemberian pupuk anorganik juga sangat penting untuk pertumbuhan tanaman. Pupuk yang biasa diberikan Urea dengan dosis 330 kg/ha, TSP dengan dosis 400 kg/ha sedangkan KCl 200 kg/ha.
Secara keseluruhan pemberian pupuk organik dan anorganik adalah sebagai berikut:
1. Pupuk kandang: saat tanam 15.000-20.000 kg.
2.Pupuk anorganik :
  a. Urea/ZA: 21 hari setelah tanam 165/350 kg dan 45 hari setelah tanam                                              165/365 kg.
  b.SP-36: saat tanam 400 kg.
   c. KCl: 21 hari setelah tanam 100 kg dan 45 hari setelah tanam 100 kg.
  d. Pupuk cair: 7-10 hari sekali dengan dosis sesuai anjuran.

Pengairan 

Tanaman kentang sangat peka terhadap kekurangan air. Pengairan harus dilakukan secara rutin tetapi tidak berlebihan. Pemberian air yang cukup membantu menstabilkan kelembaban tanah sebagai pelarut pupuk. Selang waktu 7 hari sekali secara rutin sudah cukup untuk tanaman kentang. Pengairan dilakukan dengan cara disiram dengan gembor/embrat/dengan mengairi selokan sampai areal lembab (sekitar 15-20 menit).

2.Wortel

Ciri-ciri morfologi tanaman wortel adalah daun tanaman wortel termasuk daun majemuk, menyirip ganda dua atau tiga dan bertangkai. Batang nya pendek sehingga hampir tidak nampak, berbentuk bulat, agak keras dan berdiameter 1-1.5 cm. Wortel memiliki akar tunggang dan serabut. Bunganya tumbuh pada ujung tanaman dan berbentuk payung berganda berwarna putih dan merah jambu agak pucat. Biji wortel adalah biji tertutup dan berkeping dua yang berbentuk kecoklatan dengan panjang 3 mm dan 1.5 mm. Sedangkan umbinya terbentuk dari akar tunggang yang berubah fungsi menjadi tempat penyimpanan cadangan makanan seperti karbohidrat, protein, lemak, vitamin, mineral dan air.
Ada beberapa faktor yang mempengaruhi pertumbuhan wortel seperti tanah, suhu, curah hujan, kelembaban, dan intensitas penyinaran matahari. Wortel biasanya dibudidayakan pada tanah yang memiliki tekstur struktur tanah yang baik seperti andosol, alluvial, regosol dan latosol yang biasanya terdapat didataran tinggi tetapi juga bisa diusahakan pada dataran rendah. Sedangkan derajat keasaman tanah yang sesuai adalah 5.5 – 6.5. suhu juga berpengaruh terutama pada proses metabolisme, fotosintesis, transpirasi, aktifitas enzim, absorbsi, penyerapan hara dan lain-lain. Suhu yang optimal untuk pertumbuhan wortel adalah 15.6 – 21.1 °C, tetapi jika pada suhu 26 °C dengan ketinggian 500 m dpl akan menghasilkan umbi yang kurang memuaskan. Sedangkan pada suhu yang terlalu tinggi akan menghasilkan umbi yang pendek dan kecil-kecil. Curah hujan juga mempengaruhi dalam produktifitas tanaman wortel, jika kekurangan air maka akan menghambat pertumbuhannya. Daerah yang cocok untuk budidaya wortel adalah daerah yang memiliki iklim basah (1.5 – 3 bulan kering dalam satu tahun) dan iklim agak basah (3 – 4.5 bulan kering dalam 1 tahun) tetapi tanaman wortel juga toleran terhadap iklim sangat basah (0 – 1.5 bulan kering dalam satu tahun). Kelembaban udara yang sesuai bagi pertumbuhan wortel adalah 80 -90 %. Selain itu, intensitas penyinaran matahari juga mempengaruhi dalam proses fotosintesis. Tanaman akan menunjukkan gejala etiolasi seperti tumbuh memanjang, kurus, lemah dan pucat jika kurang sinar matahari. Kondisi seperti ini menyebabkan tanaman tidak akan membentuk umbi.

a.Modifikasi Tanaman wortel

Pemeliharaan tanaman wortel yaitu dengan melakukan penjarangan dan penyulaman, penyiangan, pembubunan, pemupukan, serta pengairan dan penyiraman pada tanaman wortel. tanaman wortel memerlukan air yang memadai pada fase awal pertumbuhannya, sehingga perlu disiram (diairi) secara kontinue yaitu 1-2 kali sehari, terutama pada musim kemarau. Jenis pupuk yang digunakan pada pemupukan susulan adalah urea atau ZA. Dosis pupuk yang digunakan adalah urea 100 kg/ha atau ZA 200 kg/ha. Waktu pemberian pupuk susulan dapat dilakukan secara bersamaan dengan kegiatan penyiangan, yaitu pada saat tanaman wortel berumur 1 bulan. Cara pemupukan yang baik yaitu dengan menyebarkan secara merata dalam alur-alur atau dimasukkan ke dalam lubang pupuk (tugal) sedalam 5-10 cm dari batang wortel, kemudian ditutup dengan tanah dan disiram atau diairi hingga agak basah.
G. Contoh hama, penyakit dan cara penangananya
  1. hama pada tanaman wortel
  1. Ulat tanah (agrotis ipsilon Hufn)
    Hama ini sering di sebut uler latung(jawa) atau hileud taneuh(sunda) serangga dewasa berupa kupu -kupu berwarna coklat, bagian sayap depanya bergaris - garis dan terdapat titik putih.stadium hama yang paling merugikan tanamandalah ulat atau curva .ciri : ulat tanah adalah warnanya coklat sampai hitam panjangnya antara 4 - 5 cm dan bersembunyi di dalm tanah. Gejala :ulat tanah menyerang bagian pucuk atau titik tumbuh bagiang wortel yang masih muda. Akibat serangan, tanaman layu atau terkulai terutama pada bagian tanaman yang di rusak hama, pengendalian nonkimiawi : dilakukan dengan mengumpulkan ulatpada pagi atau siang hari,dari tempat yang di curigai bekas sarangnya untuk segera di bunuh, menjaga kebersihan kebun dan pergiliran tanaman.pengendalian kimiawi dengan menggunakan inektisida dengan di semprot.
    B. Kutu daun (Aphid, Aphis spp)
    Ciri : kutu daun dewasan berwarna hijau sampai hitam, hidup berkelompok di bawah daun atau pada pucuk tanaman. Gejala : menyerangan tanaman dengan cara menghisap cairan selnya, sehingga menyebabkan daun keriing atau abnormal
    Pengendalian : mengatur waktu tanam secara serempak dalam satu hamparan lahan untuk memus siklus hidupnya.
    C. Lalat atau mangot (Psila rosae)
    Gejala: stadium hama yang sering merusak tanaman wortel adlah larvanya. Larva masuk kedalam umbi dengan cara mengerek atau melubanginya. Pengendalian : pergiliran tanaman dengan jenis yang tak sefamili atau di semprot insektisida deci 2,5 EC dan ll
  1. Penyakit Pada Tanaman Wortel.
  1. Bercak Daun Cercospora
    Penyebab : cendawan (jamur) carcospora carotae (pass) solheim. Gejala : pada daun - daun yang sudah tua timbul bercak bercak berwarna coklat muda atau putih dengan pinggiran berwarna coklat tua sampai hitam. Pengendalian : disinfeksi benih dengan larutan fungisida yang mengandung tembaga klorosida satu permil selama 5 menit
    B. Nematoda bintil akar
    Penyebab : mikroorganisme nematoda sista(Heteretoda carotae). gejala : umbi dan akar tanaman wortel menjadi salah bentuk , berbenjol - benjol abnormal. Pengendalian : melakukan pergiliran tanaman dengan jenis lain  yang tidak sefamili, pemberaan lahan dan penggunaan namatisida seperti rugby 10 G atau Rhocap 10 G.
    C. Busuk alternaria
    Penyebab ; cendawan alternaria dauci kuhn. Gejala: pada daun terjadi bercak - bercak kecil, berwarna corak tua sampai hitam yang di kelilingi oleh jaringan berwarna hijau kuning(klorotik). pada umbi ada gejala bercak - bercak tidak beraturan bentuknya, kemudian membusuk berwarna hitam kelam. Pengendalian : sama dengan cara yang di lakukan  pada cercospora.