B.Pembagian musim
Pranatamangsa ini membagi setahun dalam 12 mangsa: mangsa kasa (I), karo (II), katelu (III), kapat IV), kalima (V), kanem (VI), kapitu (VII), kawolu (VIII), ksangsa (IX), kasapuluh (X), desta (XI), saddha (XII). Masing-masing mangsa mempunyai bintang sendiri-sendiri. Bintang tersebut berlaku sebagai pedoman bagi awal dan akhirnya suatu mangsa.
– Maka mangsa kasa, bintangnya Sapigumarang, – mangsa karo, bintangnya Tagih, – mangsa katelu, Lumbung, – mangsa kapat, Jarandawuk, – mangsa kalimat, Banyakangkrem, – mangsa kanem, Gotongmayit, – mangsa kapitu, Bimasekti, – mangsa kawolu, Wulanjarangirim, – mangsa kasanga, Wuluh, – mangsa kasapuluh, Waluku. – Dua mangsa terakhir, desta dan saddha tak mempunyai bintang yang khusus. Bintang kedua mangsa tersebut sama dengan bintang pada mangsa karo dan katelu, yakni lumbung dan tagih.
Untuk mengetahui letak masing-masing mangsa, perlu diketahui terlebih dahulu bahwa petani juga membagi setahun dalam empat mangsa utama, yakni mangsa terang (82 hari), semplah (99 hari), udan (86 hari), pengarep-arep (98 hari). Simetris dengan pembagian tersebut, juga ada pembagian mangsa utama seperti berikut ini: mangsa katiga (88 hari), labuh (95 hari), rendheng (94 hari), mareng (88 hari).
Lalu dengan peletakan yang demikian simetris, demikianlah tempat dua belas mangsa ditaruh dalam siklus tahunan yang selalu berulang (N. Daldjoeni: Ibid, hlm. 7-8):
a. Satu tahun yang panjangnya 365 hari dibagi menjadi 2 tengah tahunan. Masing-masing tengah tahunan dipecah lagi atas 6 mangsa, yang panjang harinya berturut-turut adalah: 41-23-24-25-27-43
b. Dalam pada itu, mangsa ke-I (kasa) dimulai pada saat matahari ada di zenith untuk garis balik Utara Bumi (tropic of Cancer), yakni tanggal 22 Juni. Mangsa ke VII (kapitu) dimulai pada tanggal 22 Desember ketika matahari ada di zenith garis balik Selantan Bumi (tropic of Capricorn).
c. Kedua periode tengah tahunan itu saling bergandengan pada mangsa yang paling panjang, yakni mangsa terang (mangsa sadha dan kasa) yang lamanya 82 hari dan mangsa udan (mangsa kanem dan mangsa kapitu) yang lamanya 86 hari.
d. Mangsa terang diapit oleh dua mangsa yang kontras, yakni mangsa panen (mangsa dhestha) dan mangsa paceklik (mangsa karo). Mangsa udan diapit oleh dua mangsa dengan letak matahari di zenith untuk pulau Jawa, yakni mangsa kalima dan mangsa kawolu.
e. Mangsa pangarep-arep (harapan) yang mengandung musim berbiak bagi berbagai hewan serta tanaman makanan pokok, berhadapan dengan mangsa semplah (putus asa) yang masing-masing meliputi 3 mangsa, yakni kawolu, kasanga, kasapuluh berhadapan dengan mangsa katelu, kapapat dan kalima.
Periode-periode musim yang ditandai dengan nama-nama mangsa itu berulang secara teratur dalam setiap tahun. Petani dapat membuktikan pengulangan musim yang teratur itu dengan mengamati rasi bintang yang muncul secara teratur dan periodik pula. Misalnya, rasi bintang Lumbung (Crux) pada mangsa katelu, Banyakangkrem (scorpio) pada mangsa kalima, Waluku (Orion) pada mangsa kasapuluh, wuluh (pleyades) pada mangsa kasambilan, wulanjarngirim (Centauri) pada mangsa kawolu, bimasakti (Milkmay)) pada mangsa kapitu, dan sebagainya.
Munculnya rasi bintang tertentu, disusul oleh munculnya rasi bintang tertentu lainnya adalah patokan untuk menentukan saat mulai serta saat berakhirnya masing-masing mangsa. Berbarengan dengan itu, panjang bayangan manusia pada tengah hari juga dipakai untuk menentukan panjang pendeknya suatu mangsa tertentu. Di samping itu, dalam pembagian mangsa-mangsa, petani juga memperhatikan asal-usul angin serta gerakan-gerakan angin. Sesungguhnya semuanya itu tidaklah lain daripada penyesuaian udara pada pergeseran perjalanan matahari di sepanjang tahun.
C.Watak-watak mangsa
Atas dasar semuanya itu ditentukanlah watak setiap mangsa, dan pengaruhnya terhadap kehidupan manusia dalam mengolah tanaman dan pertaniannya. Jadi penentuan watak mangsa yang mungkin berkesan mistis itu sesungguhnya mempunyai pijakan yang berdasarkan pengalaman nyata dan pengamatan yang sangat rasional. Dengan kata lain, di balik suatu penentuan watak mangsa selalu ada pengalaman nyata dan dasar rasionalnya. Demikianlah misalnya urutan watak-watak mangsa itu.
Sotya murca ing embanan (ratna jatuh dari tatahan). Itulah watak dari mangsa kasa (I), yang jatuh pada mangsa ketiga, masa terang yang biasanya kering. Mangsa ini ditandai dengan gejala alam, daun-daun yang berguguran, dan bintang beralih. Dihitung dengan penanggalan umum, mangsa ini berawal pada 22 Juni dan berakhir pada 1 Agustus. Menurut Daldjonei, kondisi meteorologisnya: sinar matahari 76%, lengas udara 60,1%, curah hujan 67,2 mm, suhu udara 27,4 derajat Celcius (Lih. ibid. hlm. 12). Pada masa ini manusia merasa ada sesuatu yang hilang dalam alam, walau cuacanya sedang terang.
Lalu masuklah manusia ke dalam mangsa karo, yang wataknya adalah bantala rengka (tanah retak). Mangsa ini berlangsung 1 Agustus sampai 24 Agustus. Pada masa yang juga jatuh pada satuan mangsa ketiga ini, hawa menjadi panas. Kondisi meteorologis kurang lebih sama dengan mangsa kasa (I), kecuali curah hujan turun menjadi 32,2 mm. Pada masa ini manusia mulai merasa resah, karena suasana kering dan panas, rasanya bumi seperti merekah. Memang mangsa sedang memasuki alam paceklik. Alam paceklik itu makin menajam, ketika manusia memasuki mangsa katelu, yang wataknya adalah suta manut ing bapa (anak menuruti ayah). Mangsa ini berlangsung dari 25 Agustus sampai 17 September. Kondisi meteorologis sama dengan mangsa sebelumnya, hanya curah hujan naik lagi menjadi 42,2 mm. Mangsa yang juga bagian dari mangsa ketiga ini ditanda dengan sumur-sumur yang mengering dan angin yang berdebu. Tak ada yang dapat dibuat manusia, kecuali pasrah sambil berharap semoga masa ini segera berakhir.
Harapan itu mulai cerah, ketika alam memasuki mangsa kapat, yang wataknya adalah waspa kumembeng jroning kalbu (airmata tersimpan dalam hati). Masa yang berlansung dari 18 September sampai 12 Oktober ini jatuh pada musim labuh, di mana kemarau mulai berakhir. Sinar matahari 72%, lengas udara 75,5%, sedang curah hujan 83,3mm, dan suhu udara 26,7 derajat Celcius. Di sini manusia masih harus menunda kegembiraannya, ia masih harus menunggu sampai semua kesedihan dan kekeringan sungguh berlalu.
Maka datanglah mangsa katelu, yang juga jatuh pada musim labuh. Mangsa ini berlangsung dari 13 Oktober sampai 8 November. Kondisi meteorologi sama dengan mangsa karo, hanya curah hujan naik menjadi 151,1%. Watak dari mangsa ini adalah pancuran mas sumawur ing jagad (pancuran masa berhamburan di bumi). Mangsa ini ditandai dengan turunnya hujan yang pertama. Manusia pun mulai diliputi sukacita atas kesegaran air hujan yang turun dari langit seperti pancuran masa.
Lalu tibalah mangsa kanem, juga masih di musim labuh. Mangsa ini berlangsung dari 9 November sampai dengan 21 Desember. Kondisi metereologis sama dengan mangsa sebelumnya, hanya curah hujan meninggi, jadi 402,2 mm. Alam menghijau, dan hati merasa tentram. Memang mangsa ini amat indah, sesuai dengan watak dan candranya: rasa mulya kasucen, rasa mulia yang berasal dari kesucian. Alam memberi rasa persahabatan yang luar biasa. Seakan semuanya muncul dari kesuciannya. Dan manusia pun diundang untuk ikut merasakan kesucian itu. Ia tidak menjadi serakah, justru hatinya menjadi penuh rasa syukur, karena pada saat inilah ia menerima dari alam berkah yang amat berlimpah-limpah. Sawah-sawah mereka menghijau, air mengalir jernih, memberi rasa hati yang aman tentram.
Kemudian musim masuk ke dalam satuan besar mangsa rendheng, yang terdiri dari mangsa kapitu, kawolu dan kasanga. Di mangsa kapitu 22 Desember sampai dengan 2 Februari, ketentraman manusia sejenak terganggu. Kondisi meterologis mangsa ini adalah sinara matahari 67%, lengas udara 80, curah hujan 501,4, dan suhu udara 26,2 derajat Celcius. Watak dari mangsa ini adalah wisa kentar ing maruta, bisa terbang tertiup angin. Inilah musim datangnya penyakit, dan alam ditandai dengan banjir. Petani tetap menerima masa ini dengan penuh syukur. Sebab dalam masa ini, alam yang kelihatannya kurang bersahabat sesungguhnya sedang menyimpan berkah panen yang demikian kaya. Di samping itu, tanaman memang sedang membutuhkan siraman air sebanyak-banyaknya.
Tanda-tanda kegembiraan dan berkah kemudian mulai terlihat, ketika kucing-kucing mulai kawin. Kendati alam dipenuhi dengan sambaran kilat, birahi kucing-kucing itu adalah pratanda, bahwa hal yang gembira sedang berada di ambang mata. Memang inilah tanda ketika mangsa kapitu beranjak ke mangsa kawolu (3 Februari sampai 28 Februari), yang wataknya adalah anjrah jroning kayun, sesuatu sedang merebak di dalam kehendak. Kondisi metereologis sama dengan mangsa sebelumnya, kecuali curahnhujan turun menjadi 371,8 mm. Dalam mangsa ini, kendati mendung dan kilat, manusia tidak diliputi rasa takut, karena kehendaknya menyegar bersama turunnya hujan yang dahsyat. Hujan yang menyapu segala kekeringan. Hujan yang menabungkan air bila kelak bumi dilanda kekeringan.
Lalu garengpung mulai berbunyi di mana-mana. Suara mereka keras, seakan menyanyikan apa yang hendak dikatakan oleh alam. Memang pada saat ini, kulit manusia menjadi peka terhadap penyakit. Tapi kekhawatiran itu tak terbandingkan dengan gairah yang ada di ujung musim penghujan. Begitulah keadaan mangsa kasanga (1 Maret sampai 25 Maret), yang wataknya adalah wedare wacana mulya, keluarnya sabda mulya. Kondisi meteorologis sama dengan mangsa sebelummya, hanya curah hujan menurun lagi jadi 252,5 mm.
Dengan habisnya mangsa kasanga, berakhir sudah satuan mangsa rendheng. Alam pun memasuki satuan mangsa terakhir dalam setahun, yaitu mangsa mareng, yang dibagi dalam mangsa kasapuluh, destha dan sada. Mangsa kasapuluh (26 Maret sampai 18 April) ini ditandai dengan awal perkembang-biakan. Burung-burung mulai bertelur. Kendati demikian, mangsa ini serasa menyimpan antisipasi yang sedikit muram, mungkin karena tak lama kemudian akan datang musim kemarau yang penuh dengan kekeringan. Karena itu di mangsa ini, orang merasa gampang lesu dan pusing-pusing. Itulah mangsa kasapuluh, yang wataknya adalah gedong minep jroning kalbu, gedung tertutup dalam hati. Kondisi meterologis mangsa ini adalah sinara matahari 60%, lengas udara 74%, curah hujan 181,6 mm, dan shu udara 27,8 derajat Celcius.
Akhirnya burung-burung pun mulai menetas. Alam menunjukkan daya ciptanya lagi. Kesuburan seakan diasah kembali, kendati kemarau sudah di ambang mata. Itulah saat ketika alam sedang masuk ke dalam mangsa destha (19 April sampai dengan 11 Mei), yang wataknya adalah sotya sinarawedi, intan yang diasah. Kondisi meterologis sama dengan di atas, kecuali curah hujan menurun jadi 129,1 mm.
Hujan pun mulai sungguh habis. Maka masuklah alam ke dalam mangsa sada (12 Mei sampai dengan 21 Juni), yang wataknya adalah tirta sah saking sasana, air lenyap dari tempatnya. Kondisi meteorologis masih sama dengan sebelumnya, hanya curah hujan naik lagi menjadi 149,2 mm. Inilah saat, di mana kemarau mulai tiba. Dan manusia pun bersiap untuk memasuki satuan mangsa katiga, mangsa yang mengawali peredaran siklus dalam setiap tahunnya.
Begitulah kurang lebih sketsa watak-watak mangsa. Penyertaan kondisi metereologis yang dicantumkan oleh Daldjoeni kiranya memberi kita pengetahuan, bahwa watak-watak mangsa itu berkaitan dengan kondisi empiris-metereologis yang nyata.
Pengetahuan dan kebijaksanaan alam
Dari paparan di atas tampak, bahwa pranatamangsa menyimpan pengalaman manusia dalam bergaul dengan tantangan dan berkah alam. Pranatamangsa juga merupakan abstraksi dan refleksi manusia tentang pengalaman hidupnya dengan alam. Dengan refleksinya itu, manusia belajar bagaimana selanjutnya menyiasati sikap dan tindakannya terhadap alam.
Dalam pranatamangsa juga amat tampak, betapa petani Jawa sangat akrab dengan alam. Bagi petani Jawa, alam bukanlah lawan yang harus ditaklukkan, melainkan teman yang dicintai. Karena keakrabannya itu, petani Jawa mengenal segala watak dan perilaku alam. Watak dan perilaku tersebut diterima dan dirumuskan dengan bahasa yang demikian manusiawi.
Dari bahasa tersebut alam terbaca sebagai kehidupan yang tak ubahnya seperti kehidupan manusia sendiri. Dari pranatamangsa juga terbaca, bagaimana alam menjadi teman di mana manusia menumpahkan harapannya, tapi juga mengungkapkan keputusasaannya. Apa yang menjadi kegembiraan manusia, juga menjadi kegembiraan alam. Dan apa yang menjadi kesedihannya, juga menjadi kesedihan alam. Atau sebaliknya: Jika alam bergembira, manusia pun bergembira. Sebaliknya, jika alam berada dalam kesedihan dan kekeringannya, manusia pun ikut dalam kesedihan dan kekeringannya.
Tak ada yang permanen dalam alam. Alam selalu bergerak dalam siklusnya. Dan manusia dengan rela begerak dalam siklus itu, jatuh dan bangun dalam kegembiraan dan kesedihan alam, berputusasa dan berharapan dalam kekeringan dan kelimpahan alam. Misalnya, pada mangsa kawolu, yang dimulai sekitar awal Februari sampai awal Maret. Saat ini ditandai dengan guntur yang bersahut-sahutan. Suasana terasa sedih, walau alam sedang diguyur kesegaran hujan.
Karena itu mangsa ini juga disebut mangsa paceklik rendhengan. Wataknya “anjrah jroning kayun” juga disebut pula cantika, yang artinya terhenti segala pikiran, perasaan dan kehendak. Dalam suasana yang pasif-pasrah ini, bila malam tiba, muncullah di langit bintang wulanjar ngirim, yang mengisyaratkan arti tentang janda muda yang belum beranak sedang mengantar kiriman makanan ke sawah. Suasana alam dengan segala metaforanya yang di satu pihak sedih tapi di lain pihak gembira ini membuat petani terangsang untuk bangkit dari kelesuannya dan menggali kembali harapannya (Lih. Daldjoeni: Ibid. hlm. 25). Mangsa kawolu, berserta mangsa kasanga dan kasapuluh itu, panjangnya kurang lebih 75 hari, mulai 3 Februari sampai 19 April. Mangsa ini juga disebut mangsa pangarep-arep, mangsa harapan. Dengan istilah ini hendak diisyaratkan, kendati dirundung sedih karena mangsa paceklik rendhengan yang memang kelabu dan lesu, petani juga mempunyai harapan bahwa mereka akan segera bangkit dari kesedihannya bersama alam. Dan harapan itu bukan khayalan, karena pada waktu itu terlihat padi-padi telah menguning.
Toh ketika harapan ini benar-benar menjadi kenyataan, mereka tetap diingatkan untuk waspada dan berjaga-jaga sampai berakhirnya mangsa kasapuluh. Sikap waspada dan berjaga-jaga itu perlu, agar nanti panenan mereka berhasil. Kewaspadaan itu adalah tuntutan dari kesabaran, yang harus mereka tanggung ketika mereka sedang menunggu datangnya mangsa dhesta, mangsa panen. Mereka disabarakan oleh alam, karena sebentar lagi alam akan memasuki mangsa dhesta, mangsa panen, yang terjadi pada awal April.
Terlihat juga dengan pranatamangsa ini, manusia dibantu untuk ikut prihatin dan berharap bersama siklus alam, yang memang secara teratur berjalan dalam kekurangan dan kelimpahannya, kering dan segarnya, kemarau dan hujannya. Ini tentu membantu petani untuk merancang kehidupan ekonominya.
Dengan patokan pranatamangsa itu, mereka akan dibantu bagaimana berhemat dan berprihatin ketika alam berada dalam kekurangannya, dan bagaimana mereka boleh bergembira dan berpesta ketika alam mengantar mereka masuk dalam kelimpahannya.
Pranatamangsa memberi petani pegangan, bagaimana mereka mengatur ekonominya dengan menjalin keputus-asaan dan harapan, yang tak dapat dipisahkan dari situasi alam, yang memang harus berjalan dari kekurangan menuju kelimpahan, dari kekeringan menuju kesuburan, dari paceklik menuju panenan. Penyesuaian diri dengan alam dengan demikian membuat manusia pandai mengolah kekurangannya, dan kuat dalam menanggung harapannya, karena mereka selalu menyimpan harapan yang tak lain adalah berkah kelimpahan alam sendiri.
D.Pedoman untuk mengolah tanaman
Sementara pranatamangsa juga bisa berfungsi sebagai pedoman bagi petani untuk mengolah tanamannya.
Pada mangsa kasa (I), ketika daun-daun kelihatan berguguran, dan belalang mulai bertelur, petani mulai menanam palawija. Pada mangsa karo, ketika tanah-tanah merekah, dan pohon-pohon mangga serta kapuk mulai berbuah, petani mulai mengairi sawah dan tanaman palawijanya.
Pada mangsa katiga, pohon-pohon bambu, gadung, temu dan kunyit subur bertumbuh. Pada saat inilah orang mulai memetik tanaman palawijanya.
Pada mangsa kapat, pohon-pohon kapuk sedang berlimpah dengan buahnya. Burung pipit dan burung manyar membuat sarangnya. Inilah masa petani mulai bersiap-siap untuk mengolah sawahnya.
Dan dengan datangnya mangsa kalima, mereka pun giat membajak dan mencangkuli sawahnya. Berbarengan dengan itu, pohon-pohon asam sedang rimbun dengan daun mudanya. Kunyit dan gadung pun mulai berdaun. Hujan mulai deras, dan ulat-ulat keluar.
Pada mangsa kanem, ketika pohon-pohon mangga dan rambutan sedang masak berbuat, dan di parit-parit banyak terlihat binatang lipasan, para petani merawat dan membersihkan sawahnya.
Dan pada mangsa kapitu, bersama-sama dengan derasnya air karena hujan yang turun menderas, petani mulai menanam padi di sawah-sawah mereka.
Pada mangsa kawolu, tanaman padi kelihatan tumbuh meninggi, dan di sana sini kelihatan pula buliur-bulirnya. Petani segera bersiap untuk menyianginya.
Dan datanglah mangsa kasanga. Inilah saatnya bulir-bulir padi menjadi masak, bersama merdunya suara cenkerik dan cenggaret. Padi-padi benar-benar menjadi tua.
Dengan datangnya mangsa kasapuluh, yang ditandai dengan kegiatan burung-burung yang terbang ke sana kemari untuk membuat sarangnya. Dan ketika burung-burung sedang mengerami telurnya, petani memanen padi di sawah-sawah.
Itulah yang terjadi sampai datangnya mangsa dhesta dan sada, masa ke sebelas dan dua belas. Waktu itu padi-padi dipotong, dan petani menyiapkan diri lagi untuk menghadapi datangnya mangsa katiga, yang kering dan sulit.
Tampak dari dinamika ini suatu proses, yang titik berangkatnya adalah masa yang sulit, dan tujuan akhirnya adalah masa yang segar dan penuh berkah panenan. Jelasnya, petani menandai penanggalan alamnya bukan dengan dimulainya masa yang subur, tapi dengan masa yang sulit dan kering (mangsa kasa, karo dan katelu, yang merupakan satuan mangsa katiga). Lalu dari sana mereka beranjar menyongsong masa yang subur dan bahagia, yakni masa kasapuluh, dhesta dan sada, yang kaya raya dengan panenan padi.
Dari sana tampak mentalitas, kejiwaan dan pandangan hidup petani: Mereka seperti alam, yang pelahan-lahan bekembang, mulai dari tunasnya sampai pada buahnya, mulai dari kelahirannya sampai kepada kedewasaan dan kematangannya. Dan uniknya, itu tidak berarti bahwa harapan mereka baru terpenuhi di ujung nanti.
Seperti tampak dalam paparan di atas, harapan itu sudah terkandung dalam setiap masa. Sebab dalam masa yang paling peceklik pun mereka tetap mempunyai harapan. Itu karena sekali lagi, mereka mengiramakan diri dalam siklus alam. Tak mungkin alam hanya berisi kekeringan. Dan situasi yang paling kering sekali pun, alam sudah menyimpan dalam dirinya kesuburan.
Dinamika alam ini tidak pernah membohongi petani. Suatu saat nanti, alam pasti akan memberikan berkahnya, setelah semua proses pertumbuhan dilalui. Ini tentu membuat petani mampu bertahan dalam segala kesulitannya: Bersama alam, mereka bertahan dalam harapan.
Begitulah, buat petani alam bukanlah sekadar tanah atau barang mati yang harus diolah. Alam adalah kehidupan, seperti manusia sendiri juga kehidupan. Dari keyakinan ini, kita bisa mengerti, mengapa pranatamangsa juga percaya, bahwa setiap mangsa mempunyai dewa dan lambang kehidupannya sendiri-sendiri. Maka
– mangsa kasa dewanya Wisnu, dengan disertai lambang binatang domba. – mangsa karo dewanya Sambu, dengan disertai lambang binatang banteng. – mangsa katelu dewanya Rudra dengan disertai lambang kehidupan sebuah tanaman yang sedang mulai tumbuh dan bertunas. – mangsa kapat dewanya Yama dengan disertai lambang binatang kepiting. – mangsa kalima dewanya dewi Metri, dengan disertai lambang binatang singa. – mangsa kanem dewanya Naya, dengan disertai lambang seorang perempuan bernama Roro Kenya. – mangsa kapitu dewanya Sanghyang dengan disertai lambang neraca keseimbangan. – mangsa kawolu dewanya Durma, dengan disertai lambang binatang kelabang. – mangsa kasanga dewanya Wasana, dengan disertai lambang binatang burung garuda. – mangsa kasapuluh dewanya Basuki dengan disertai lambang binatang kambing. – mangsa dhesta dewanya Prajapati dengan disertai lambang kehidupan air yang tertumpah. – mangsa sada dewanya Gana dengan disertai lambang binatang mina atau ikan.
Dewa-dewa ini kiranya berfungsi sebagai penjaga dan pelindung masing-masing mangsa. Itu menunjukkan, bahwa masing-masing mangsa mempunyai kekuasaan, wewenang dan kekuatannya sendiri. Dan tentu saja, dewa-dewa penjaga atau pelindung itu adalah tanda, bahwa setiap mangsa adalah kehidupan, kekuasaan dan wewenang yang tak dapat begitu saja disingkirkan atau disepelekan.
Dari paparan di atas, kiranya kita boleh menarik beberapa kesimpulan ini. Jelas, dalam pranatamangsa tercermin alam pikiran agraris para petani Jawa. Dengan pranatamangsa, petani mencoba menyesuaikan diri dengan irama alam yang abadi, sehingga terjadilah kelerasan antara kosmos dan manusia. Seperti dikatakan oleh Daldjoeni, “Dalam kebijaksanaan kosmologis sebenarnya terletak rahasia dan kekuatan menderita manusia” (Ibid. hlm. 32).
Memang, dengan menyelaraskan diri pada alam, petani terbukti telah memungut demikian banyak berkah yang diberikan oleh alam. Jika mereka harus menderita, mereka tidak menderita sendiri. Alam menemani mereka dalam penderitaan. Dan jika demikian, dalam penderitaan itu tersimpan janji perubahan, sebab alam sendiri selalu beranjak menuju perubahan. Tak selamanya orang berada dalam musim kering, artinya suatu saat orang pasti akan menikmati kesegaran dan berlimpahnya hujan. Tak selamanya orang menjadi kecil dan kerdil: Seperti pohon, mereka pun akan tumbuh menjadi besar, jika mangsanya telah tiba.
E. Contoh Tempat Dataran Tinggi Dieng.
1. Tempat Dieng